Tuesday, 12 May 2015

TUGAS KRITIK DRAMA



1.      TYA SETIAWATI : MENAMPILKAN MONOLOG BERJUDUL “DEMOKRASI” KARYA PUTU WIJAYA DALAM MIMBAR TEATER INDONESIA (MTI) II DIMUAT DI Padang Ekspres, Edisi Minggu 24 Oktober 2010

Mimbar Teater Indonesia (MTI) II tanggal 4-10 Oktober 2010, Taman Budaya Surakarta (TBS) kali ini mengambil tema “Menyoal karya-karya Putu Wijaya”. Terdapat dua puluh delapan penampil monolog dan empat penampil grup teater yang ikut berpartisipasi menjadi peserta dalam iven nasional tersebut seperti Butet Kartaradjasa (Yogyakarta), Teater Lungid (Surakarta), Kelompok Masyarakat Batu (Palu), Seni Teku (Yogyakarta), Teater Mandiri (Jakarta), Teater Tanah Air (Jakarta)Teater Cermin (Solo), Herlina Syarifudin (Jakarta), Dalif (Tinambung, Sulbar), Bramanty S. Riyadi (Tegal), Ria Ellysa Mifelsa (Bandung), Putu Satria Kusuma (Singaraja, Bali), Luna Vidya (Makassar), Genthong HAS (Yogyakarta), Anton Y. Kieting (Takengon, Aceh Tengah), Abuy Asmarandana (Samarinda), Wawan Sofwan (Bandung), Tya Setyawati (Padang), Ujang GB (Jakarta), Sih Wahyuning (Semarang), Agus Nur Amal (Jakarta), Nani Tandjung (Jakarta), Syamsul Fajri Nurawat (Mataram), Lingkar Study Teater Palembang (Palembang), Rizaldo Gonzales (Kotabaru, Kalimantan), Boni Avibus (Bandung), Agus Susilo (Medan), Heliana Sinaga (Bandung), Ikranagara (Jakarta), Irwan Jamal (Bandung), Lisa Syahtiani (Jakarta), dan Rita Matumona (Jakarta).
Pembicara seminar dalam iven Mimbar Teater Indonesia (MTI) II tersebut adalah Afrizal Malna (Yogyakarta), Benny Yohanes (Bandung), Cobbina Gillit (Amerika Serikat), Fahmi Shariff (Makassar), Michael Bodden (Kanada), Koh Yung Hun (Korsel), Aslan Abidin (Makassar), Tamara Aberle (Inggris), dan Nandang Aradea (Banten).
Hari ketiga, 6 Oktober 2010 pukul 21.15 WIB di Teater Arena Taman Budaya Surakarta (TBS), setelah pertunjukan “Dam” oleh Wawan Syofwan dari Bandung, Tya Setiawati menampilkan naskah monolog Putu Wijaya berjudul “Demokrasi”. Naskah ini pada dasarnya merupakan kritik Putu Wijaya dalam menyikapi persoalan demokrasi di Indonesia. Kita berada dalam paradigma demokrasi yang salah kaprah, demokrasi hanyalah sebuah jargon atas nama kepentingan oleh segelintir orang yang berkuasa, ambisius, dan hipokrit, demokrasi menjadi sebuah kata yang dekat dengan politik konspirasi. Kata demokrasi dalam perspektif Putu Wijaya hanyalah sebuah wacana belaka, tidak ada implementasi yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Demokrasi yang diagung-agungkan sebagai pondasi dalam melihat kepentingan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat kemudian mampu dibayar dengan uang dan kekuasaan. Siapa yang terpedaya dengan uang dan kekuasaan atas nama demokrasi, maka demokrasi tidak ada gunanya lagi dalam kehidupan, demokrasi sudah mati karena kita sendiri yang telah membunuh kata demokrasi tersebut.
Begitulah Tya Setiawati (sebut saja Tya) menampilkan naskah monolog “Demokrasi” karya Putu Wijaya melalui pendekatan sosio-kultur dan dialek vokal yang berirama ke-Jawa-an. Melalui gaya akting yang sedikit komikal, naskah ini mampu dikomunikasikan secara baik oleh Tya. Set dan properti yang minimalis berupa kursi panjang, keranjang, dan kostum ganti yang terdapat di dalam keranjang tersebut dapat dimanfaatkan secara efektif. Elemen pencahayaan yang ditata oleh Enrico Alamo tidak begitu memilih efek warna secara dominan, hanya beberapa titik pencahayaan yang berfungsi untuk menegaskan pola bloking, suasana dramatik lakon yang sedang dimainkan dan juga berfungsi sebagai batas area permainan.
Kemampuan Tya dalam menjaga ritme permainan, kesadaran terhadap penggunaan set dan properti, bisnis akting, gestur dan caranya menyikapi penonton teater malam itu, penulis sangat mengapresiasinya dengan baik. Walaupun sebenarnya terdapat kecelakaan teknis diawal pertunjukan, hal itu disebabkan oleh operator sound system yang begitu lama dalam mengaktifkan musik digital, sehingga pertunjukan sempat tertunda sekitar tujuh menit. Jelas saja, kecelakan teknis yang disebabkan oleh operator Sound System sangat mengganggu konsentrasi penonton yang akan menyaksikan pertunjukan monolog ini.
Setelah lampu pertunjukan secara perlahan dihidupkan dan musik digital sudah bisa diaktifkan oleh operator sound system, lalu seorang tokoh perempuan (Tya) masuk sambil membawa keranjang ke area panggung, ia menari mengikuti irama musik sambil mengelilingi area permainan. Setelah musik berhenti (fade out), perempuan itu duduk di kursi panjang. Sejenak suasana kembali hening, perempuan itu menatap ke sekeliling penonton, menerawang ke langit-langit gedung pertunjukan, akhirnya ia mengucapkan kalimat “Saya mencintai Demokrasi” dalam dialek Jawa. Sebuah teknik muncul yang sederhana dan biasa namun mampu memberikan daya sugesti yang baik. Penonton telah membangun impresi positif dalam pikirannya terhadap apa yang dilakukan oleh Tya diawal pertunjukan. Persoalan-persoalan dalam pertunjukan mulai digulirkan kehadapan penonton. Tokoh perempuan tersebut menceritakan kalau dia adalah pimpinan demonstrasi RT Gang Gusus Depan. Ia bersama penghuni RT Gugus Depan menolak pelebaran jalan yang akan dilakukan oleh petugas kelurahan yang telah bekerja sama dengan pimpinan pabrik tekstil di kota itu. Pelebaran jalan tersebut dilakukan atas dasar kepentingan bersama dan atas nama nilai-nilai demokrasi.
Pelebaran jalan dengan cara memangkas rumah warga yang berukuran enam meter kali empat bertujuan untuk memudahkan akses para buruh pabrik menuju tempat kerja mereka. Hal ini dipahami sebagai bentuk cita-cita demokrasi yang akan membantu masyarakat RT Gugus Depan secara ekonomi. Jalan tersebut akan ramai dilalui, termasuk juga mobil-mobil, bajaj dan kendaran bermotor. Para demonstran tetap melakukan penolakan terhadap eksekusi tanah seluas dua meter tersebut. Petugas kelurahan mengerahkan Buldozer sebagai jawaban atas penolakan warga tersebut, warga terus melakukan perlawanan, walaupun nyawa yang harus menjadi taruhannya, demokrasi harus tetap ditegakkan.
Tokoh Perempuan yang berperan sebagai pimpinan para demonstran akhirnya tidak tega menghadapi situasi yang begitu parah tersebut. Dengan sedikit melakukan pergantian kostum di atas panggung, Ia berniat dan memberanikan diri untuk menemui pimpinan perusahaan tekstil itu sendirian. Berbagai bujukan dan rayuan secara lisan oleh pimpinan perusahan tekstil tersebut tidak mudah menggoyahkan sikap demokrasi yang sudah tertanam dalam dirinya. Namun, ketika uang disodorkan tepat dihadapan matanya, ia mulai bertanya dalam hati “apakah ia benar-benar mencintai demokrasi?” ternyata tidak, perempuan itu telah rapuh, goyah dan terpedaya. Matanya melotot memandang uang dalam amplop yang bertuliskan angka sebesar satu milyar. Kata-kata demokrasi yang selalu ia kumandangkan akhirnya hilang dan lenyap begitu saja waktu itu. Kemudian secara perlahan lampu mulai dipadamkan (fade out) dan penonton bertepuk tangan. Maka selesai sudah pula “Demokrasi” dalam pertunjukan malam itu.
Beberapa pertunjukan yang penulis amati dalam iven Mimbar Teater Indonesia (MTI) II, baik penampil grup maupun peserta monolog memiliki keberagaman dalam mencermati konsep pertunjukan dan tafsir terhadap teks-teks naskah drama Putu Wijaya. Keberagaman tersebut tercermin dari kemampuan para performer menyikapi wilayah permainan baik secara indoor maupun outdoor secara cerdas. Benny Yohanes dalam seminar Mimbar Teater Indonesia sempat memberikan ulasan terhadap beberapa pertunjukan yang telah disaksikannya, termasuk pertunjukan monolog “Dam” Wawan Syofwan dan “Demokrasi” Tya Setiawati. Dua pertunjukan ini dalan perspektif Benny Yohannes merupakan suatu usaha dalam mewujudkan akting representasional di atas pentas, pilihan ini tidak bisa dipandang secara sederhana begitu saja. Untuk menjadi seorang aktor yang baik dan mampu diterima oleh masyarakat penontonnya memang membutuhkan proses panjang dalam melatih kemampuan bermain tanpa henti, membina kecerdasan intelektual, emosional, spritual, termasuk juga kecerdasan secara sosial.
Konteks lain, menyangkut penyelenggaraan iven Mimbar Teater Indonesia (MTI) II, tetap saja memiliki kekurangan yang cukup signifikan. Afrizal Malna menilai bahwa penyelenggaan iven ini seperti tidak ada persiapan yang matang. Tidak ada foto-foto dan dokumentasi visual mengenai pertunjukan Putu Wijaya dan Teater Mandiri-nya. Iven ini begitu miskin dalam menyikapi masyarakat penonton teater terutama untuk penonton awam, karena (menurut Afrizal Malna) tidak semua penonton mampu mengetahui secara mendalam mengenai proses kreatif Putu Wijaya melalui teater Mandiri-nya. Kemudian, Benny Yohanes juga kembali menambahkan, bahwa tidak ada ruang tersendiri untuk para kreator dapat bertemu dan berbagi pengalaman mengenai proses kreatif dan sejauh-mana tafsir mereka dalam menyikapi teks-teks naskah drama Putu Wijaya tersebut.
Semoga kita semua dapat belajar dari peristiwa budaya yang telah berlalu ini. Salam Teater

Pertemuan sayur-mayur dengan peralatan dari kayu dan besi. Dengan kata lain bercerita tentang pertabrakan antara benda lunak dengan benda keras dan tajam, atau manusia bertabrakan dengan teknologi atau sistem yang “bertangan besi” (Joko Bibit Santoso)
Ketika lampu perlahan dihidupkan (fade in) pada sisi kiri belakang panggung, perempuan dengan pakaian lusuh membawa parut kecil. Melalui sebuah gerak teatrikal, perempuan membelakangi penonton menuju samping kanan, perempuan tersebut menepuk parut sehingga memberikan gambaran kehidupan yang jatuh lalu diinjak tanpa kata-kata sedikitpun hanya degup detak jantung dalam mengawali pertunjukan malam itu. Lalu, seorang lelaki (sebut saja lelaki 1) dengan rambut pendek, bertelanjang dada, bercelana pendek warna hitam muncul dari sisi kiri belakang melalui eksplorasi tubuh seolah-olah menguntai dan mengulur berjuta benang namun tetap saja tidak pernah terselesaikan. Bersamaan dengan peristiwa tubuh yang sedang dibangun, seorang lelaki beramput gondrong (sebut saja lelaki 2) muncul dari sisi kanan depan panggung dengan memberikan sebuah tawaran gestur layaknya seorang yang sedang menggulung benang, namun tetap saja benang itu merupakan sebuah imaji kerumitan hidup yang susah untuk dituntaskan, tidak jelas, alias absurd. Mungkin saja ini sebuah gambaran kehidupan yang absurd.
Tanpa kata, namun pertunjukan berusaha memberikan ruang komunikasi dramatik melalui bahasa-bahasa tubuh, sett, properti, dan pencahayaan sebagai teks pertunjukan yang penuh dengan muatan-muatan semiotika visual. Dua lelaki berdialog bersama parut dan tubuhnya, bergelut dengan teknik akrobatik tubuh layaknya fenomena teater tubuh yang begitu menjadi perhatian dalam perkembangan teater kontemporer di Indonesia saat sekarang ini seperti Teater Sae (Budi S Otong), Teater Kubur (Dindon W.S), Teater Payung Hitam (Rahman Sabur), komunitas seni Hitam-Putih (Yusril), teater Garasi (Yudi A Tajudin), Teater Tetas (Ags. Arya Dipayana), Toni Broer, teater Sakata (Tya Setiawati), namun tetap saja, Teater Ruang memiliki metode dan pilihan yang berbeda dalam menyikapi tubuh sebagai media ekspresinya, teater yang mencoba tidak ‘konsumtif’ (istilah yang dilontarkan Joko Bibit sebelum pertunjukan dimulai) mungkin kita tidak perlu mengadopsi teater Barat secara mentah-mentah, karena jelas kita memiliki kekayaan lokal yang begitu banyak untuk digali dan dieksplorasi demi kebutuhan teater kita hari ini yaitu teater Indonesia.
Kembali pada pertunjukan, perempuan kembali muncul dengan membawa parut berukuran besar, ditengahnya tertancap ribuan paku. Perempuan mencoba memahami parut besar dalam konteks tekanan-tekanan. Perempuan meniduri ribuan paku yang tertancap pada papan parut, bercinta dengan keperihan dan kepahitan, walaupun terkadang sedikit kosong. Perempuan tetap saja berada pada posisi yang tidak begitu menguntungkan dalam kehidupan, sub-ordinat, eksploitasi, pelecehan, dan semua istilah yang tidak menguntungkan dalam aspek marginalisasi gender. Kemudian, Sedikit tembang dari lelaki 2 yang berada di atas batten lampu begitu memberikan sentuhan-sentuhan yang estetik dan lelaki 1 muncul sambil membawa sayur mayur, kemudian sayur mayur tersebut di buang ke beberapa sisi panggung, lelaki 1 melampiaskan kemarahan pada properti Mayur, dan menancapkan pada paku parut yang tergantung, perempuan bergerak menuju arah depan kanan, Mayur-pun berjatuhan ke arahnya, lalu lingkaran jarum yang diikat dengan benang secara perlahan turun, perempuan menggantung Mayur pada jarum, dengan pencahayaan sederhana namun begitu membantu peristiwa dramatik lakon, jarum kembali perlahan naik, perempuan menyanyikan lagu “Bintang Kecil”, bagian ini sepertinya berupaya memberikan suatu konklusi pertunjukan, namun tetap saja ambigu karena harapan-harapan tetap saja berujung pada kesia-siaan, mungkin inilah sebuah tragedi kehidupan yang tidak akan pernah selesai dan kita adalah generasi-generasi yang tetap saja diparut layaknya Mayur. Kemudian, lampu perlahan dimatikan (fade out). Tepuk tangan-pun menggema dari penonton yang mungkin saja banyak menimbulkan pertanyaan dalam diri mereka, apa sebenarnya yang telah mereka lihat?
Begitulah akhir dari pertunjukan Teater Ruang degan judul Mayur, karya/sutradara Ery Aryani yang dipentaskan di Sanggar Teater Ruang, Kampung Tanggul Dawung Wetan RT 3/15, Kelurahan Danukusuman, Solo, pada 1 Mei 2010 mulai pukul 20.00. Pertunjukan yang sama juga sudah digelar pada hari sebelumnya, taanggal 30 April 2010.
Tragedi negeri yang diparut dalam ruang kecil
Barangkali saja, ini hanyalah sebuah interpretasi penulis dalam menangkap pertunjukan Mayur karya/sutradara Ery Aryani produksi teater Ruang Surakarta. Walaupun banyak kemungkinan-kemungkinan tafsir yang bisa dimunculkan dalam pertunjukan ini. Sebuah peristiwa pertunjukan yang menjadikan tubuh sebagai media ekspresi dalam mengkomunikasikan teks-teks sehingga memunculkan banyak sekali pemahaman tersirat, karena teks pertunjukan yang hadir menjadi pemahaman sebagai tanda dalam memahami persoalan-persoalan yang ada di luar teks itu sendiri. Persoalan Indonesia, yang begitu kaya dengan sumber daya alam, namun tetap saja arus globalisasi menggilas kekayaan tersebut, merusaknya, tanah tidak lagi menjadi subur, karena pupuk sayuran tidak lagi organik. Mayur telah berubah menjadi Centucky Fred Chicken, Mc Donald, Hot dog ala Amerika. Generasi hari ini telah berubah menjadi generasi yang bermental komsumtif, hedonistik, korup dan lain sebagainya. Inilah gambaran sebuah tragedi negeri yang penuh carut-marut, kemudian diparut dalam ruang pertunjukan kecil dan sederhana bernama teater tubuh.
Panggung kecil dalam kantong kebudayaan dan seni pertunjukan yang hadir di tengah-tengah masyarakat, Teater Ruang mencoba memberikan penawaran-penawaran eksplorasi tubuh, properti dan pencahayaan. Walaupun secara ide hanya berangkat dari persoalan yang sederhana, sutradara Ery Aryani mengutarakan pada sesi diskusi “Kita berjualan sayur mayur selama satu bulan” karya ini hanya berangkat dari ide itu, kami pernah membeli sayur mayur dari para petani di Cepogo Boyolali, dan dijual kepada para pedagang di Pasar Legi Surakarta. Walaupun dari usaha berjualan sayur yang sempat rugi  Rp 4 juta akhirnya, menjadi sebuah inspirasi untuk membuat pertunjukan Mayur. Selama satu bulan, tiga pemain melakukan eksplorasi bentuk, dan mencari kemungkinan-kemungkinan artistik dalam menyikapi tubuh dan properti sehingga menghasilkan sebuah karya teater tubuh yang layak untuk diapresiasi.
Bukan hanya sekedar pujian, barangkali sebuah kritik juga akan bisa membantu untuk proses selanjutnya. Saaduddin (aktor teater Sakata Sumatera Barat) menyampaikan dalam sesi diskusi “apabila ini dieksplorasi lagi lebih mendalam, barangkali saja suatu saat akan menemukan kekuatan-kekuatan baru dalam pertunjukan ini”. Juga ada yang menyampaikan “saya hanya suka melihat pertunjukan ini” lalu dari komentar yang lain juga mengatakan “karena posisi saya begitu awam dengan teater, karena saya mahasiswa tari. Saya melihat pertunjukan malam ini seperti koreografi tari karena tidak ada dialog sedikitpun, walaupun hanya tembang, tapi tetap saja yang saya lihat adalah tari”. sebuah komentar yang harus disikapi dengan cermat dan bijak.
Penulis begitu mengapresiasi semangat teater Ruang pimpinan Joko Bibit Santoso dalam melakukan proses kreatif teater, menciptakan kantong-kantong pertunjukan sendiri walau sederhana, memiliki penonton yang begitu apresiatif sehingga menjadi catatan tersendiri bagi penulis. Namun, yang perlu dicermati dalam melakukan proses eksplorasi tubuh hanyalah bagaimana memaknai tubuh itu sendiri sehingga tidak terjebak pada situasi gerak koreografi yang artifisial, tanpa sebuah motivasi laku maka ekspresi tubuh yang dijadikan sebagai teks pertunjukan hanyalah sebuah gerak kosong tanpa isi. Penyikapan terhadap tubuh setidaknya mampu menangkap makna-makna filosofi dari kehidupan yang sedang dicermati dalam peristiwa pertunjukan, sehingga kita tidak terjebak pada pencaharian-pencaharian estetika belaka walaupun itu sangat dibutuhkan, namun yang paling penting adalah bagaimana seorang kreator (pemain dan sutradara teater) harus mampu menjadikan teater sebagai sarana ekspresi dan komunikasi kepada penikmat dari sesuatu persoalan kehidupan yang dihadirkan di atas pentas. Salam Teater*

3.      KRITIK PERTUNJUKAN LES CHAISES KARYA EUGENE IONESCO PADA FESTIVAL TEATER SE KARASIDENAN SURAKARTA OLEH SMA NEGERI 1 SLOGOHIMO. KRITIK OLEH 
Penampilan pertama, dari SMA N 1 Slogohimo dengan nama kelompok Teater Awan Hijau. Kelompok ini membawa naskah “Les Chaises” karya Eugene Ionesco adaptasi “Kereta Kencana” W.S Rendra. Yang di sutradarai oleh Heru Purwoko. Umi Rohmah sebagai nenek dan Tarjo sebagai kakek. Sebuah naskah absurd yang diusung dalam tema Festival Drama Realis ini, menceritakan tentang dua orang (kakek dan nenek) telah berusia ratusan tahun, dua orang yang kesepian dan tidak memiliki anak, dua orang yang memilki kejayaan masa lalu namun di masa tuanya hanya bisa berkhayal agar kematian yang segera mejemput mereka berdua dapat menjadi sesuatu yang bermakna, namun tetap saja absurd. Dari pertunjukan ini, saya melihat kurangnya suatu pendalaman terhadap proses akting yang dilakukan di atas panggung sehingga terkesan dialog-dialog yang dimunculkan sangat tergesa-gesa, karakter, gestur dan vokal yang coba dieksplorasi tidak tampak hadir secara maksimal. Di tambah dengan unsur pencahayaan yang sama sekali tidak mencerminkan penegasan dramatik pertunjukan. Ada satu momen yang membuat saya tertawa geli waktu itu yaitu, terjadinya sebuah kecelakaan teknis di atas panggung yaitu copotnya kumis tokoh kakek sehingga membuyarkan seluruh impresi yang sudah saya bangun dari awal ketika menyaksikan pertunjukan ini.

4.      KRITIK PERTUNJUKAN “OPERA DUA CINTA” PADA FESTIVAL TEATER SURAKARTA OLEH T’LANKANK ARTE
“Opera Dua Cinta” karya Agung Pamuji Adi, sutradara Yustinus Popo. Sebuah cerita yang merupakan modifikasi dari cerita klasik William Shakespeare yang berjudul Remeo dan Juliet. Cerita Romeo dan Juliet gaya Yustinus Popo ini mengisahkan dua orang remaja yang menjalin cinta, namun hubungan mereka sangat ditentang oleh orang tua mereka terutama dari Ayah tokoh perempuan. Prinsip pertunjukan ini murni sebuah hiburan yang menarik untuk di apresisasi. Pertunjukan ini memberikan satu bentuk parodi gaya bercinta anak muda pelajar saat sekarang ini yang sudah dipengaruhi dengan budaya globalisasi yang hedon dan cenderung bersifat konsumeristik, teori-teori ilmu pengetahuan tidak dibutuhkan lagi, kecuali pola hidup hura-hura dan tidak lagi memperhatikan nasehat orang tua. Tidak ada penegasan dan intensitas karakter akting dalam pertunjukan ini, karena layaknya kesenian tradisional, ketika ia keluar dari area permainan yang masih kelihatan oleh penonton ia telah beralih fungsi sebagai dirinya, dan ketika ia mulai berdialog kembali, maka ia seolah-olah menjadi tokoh yang ada dalam cerita itu. Para pemusik berada ditengah-tengah panggung dengan seorang penyanyi cantik sambil melantunkan irama lagu dan tari-tarian mencoba menyesuaikan dengan peristiwa dramatik pertunjukan dari awal sampai akhir. Begitulah Bertold Brecht memberikan batasan efek alienasi di dalam akting, berbeda dengan konsep Constantin Sergeyev Stanislavsky dengan konsep inner act (akting yang lahir dari dalam diri) sebuah persenyawaan tubuh dan pikiran sehingga memberikan batasan yang disebut to be (menjadi). Sebenarnya pertunjukan ini, tidak pas dalam tajuk festival drama realis kali ini, harus dibuatkan ruang festival lain, mungkin saja festival drama eksperimental atau yang lain sebagainya. Tetapi untuk sebuah kreativitas, dan kerapihan adegan-peradegan maka pertunjukan ini sangat layak diapresiasi.

No comments:

Post a Comment