1. TYA SETIAWATI : MENAMPILKAN MONOLOG BERJUDUL “DEMOKRASI” KARYA PUTU WIJAYA DALAM MIMBAR TEATER INDONESIA (MTI) II DIMUAT DI Padang Ekspres, Edisi Minggu 24 Oktober 2010
Mimbar Teater Indonesia (MTI)
II tanggal 4-10 Oktober 2010, Taman Budaya Surakarta (TBS) kali ini mengambil tema
“Menyoal karya-karya Putu Wijaya”. Terdapat dua puluh delapan penampil monolog
dan empat penampil grup teater yang ikut berpartisipasi menjadi peserta dalam
iven nasional tersebut seperti Butet Kartaradjasa (Yogyakarta), Teater Lungid
(Surakarta), Kelompok Masyarakat Batu (Palu), Seni Teku (Yogyakarta), Teater
Mandiri (Jakarta), Teater Tanah Air (Jakarta)Teater Cermin (Solo), Herlina
Syarifudin (Jakarta), Dalif (Tinambung, Sulbar), Bramanty S. Riyadi (Tegal),
Ria Ellysa Mifelsa (Bandung), Putu Satria Kusuma (Singaraja, Bali), Luna Vidya
(Makassar), Genthong HAS (Yogyakarta), Anton Y. Kieting (Takengon, Aceh
Tengah), Abuy Asmarandana (Samarinda), Wawan Sofwan (Bandung), Tya Setyawati
(Padang), Ujang GB (Jakarta), Sih Wahyuning (Semarang), Agus Nur Amal (Jakarta),
Nani Tandjung (Jakarta), Syamsul Fajri Nurawat (Mataram), Lingkar Study Teater
Palembang (Palembang), Rizaldo Gonzales (Kotabaru, Kalimantan), Boni Avibus
(Bandung), Agus Susilo (Medan), Heliana Sinaga (Bandung), Ikranagara (Jakarta),
Irwan Jamal (Bandung), Lisa Syahtiani (Jakarta), dan Rita Matumona (Jakarta).
Pembicara seminar dalam iven
Mimbar Teater Indonesia (MTI) II tersebut adalah Afrizal Malna (Yogyakarta),
Benny Yohanes (Bandung), Cobbina Gillit (Amerika Serikat), Fahmi Shariff
(Makassar), Michael Bodden (Kanada), Koh Yung Hun (Korsel), Aslan Abidin
(Makassar), Tamara Aberle (Inggris), dan Nandang Aradea (Banten).
Hari ketiga, 6 Oktober 2010
pukul 21.15 WIB di Teater Arena Taman Budaya Surakarta (TBS), setelah
pertunjukan “Dam” oleh Wawan Syofwan dari Bandung, Tya Setiawati menampilkan
naskah monolog Putu Wijaya berjudul “Demokrasi”. Naskah ini pada dasarnya
merupakan kritik Putu Wijaya dalam menyikapi persoalan demokrasi di Indonesia.
Kita berada dalam paradigma demokrasi yang salah kaprah, demokrasi hanyalah
sebuah jargon atas nama kepentingan oleh segelintir orang yang berkuasa,
ambisius, dan hipokrit, demokrasi menjadi sebuah kata yang dekat dengan politik
konspirasi. Kata demokrasi dalam perspektif Putu Wijaya hanyalah sebuah wacana
belaka, tidak ada implementasi yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Demokrasi yang diagung-agungkan sebagai pondasi dalam
melihat kepentingan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat kemudian mampu dibayar
dengan uang dan kekuasaan. Siapa yang terpedaya dengan uang dan kekuasaan atas
nama demokrasi, maka demokrasi tidak ada gunanya lagi dalam kehidupan,
demokrasi sudah mati karena kita sendiri yang telah membunuh kata demokrasi
tersebut.
Begitulah Tya Setiawati
(sebut saja Tya) menampilkan naskah monolog “Demokrasi” karya Putu Wijaya
melalui pendekatan sosio-kultur dan dialek vokal yang berirama ke-Jawa-an.
Melalui gaya akting yang sedikit komikal, naskah ini mampu dikomunikasikan
secara baik oleh Tya. Set dan properti yang minimalis berupa kursi panjang,
keranjang, dan kostum ganti yang terdapat di dalam keranjang tersebut dapat
dimanfaatkan secara efektif. Elemen pencahayaan yang ditata oleh Enrico Alamo
tidak begitu memilih efek warna secara dominan, hanya beberapa titik
pencahayaan yang berfungsi untuk menegaskan pola bloking, suasana dramatik
lakon yang sedang dimainkan dan juga berfungsi sebagai batas area permainan.
Kemampuan Tya dalam menjaga
ritme permainan, kesadaran terhadap penggunaan set dan properti, bisnis akting,
gestur dan caranya menyikapi penonton teater malam itu, penulis sangat
mengapresiasinya dengan baik. Walaupun sebenarnya terdapat kecelakaan teknis
diawal pertunjukan, hal itu disebabkan oleh operator sound system yang begitu
lama dalam mengaktifkan musik digital, sehingga pertunjukan sempat tertunda
sekitar tujuh menit. Jelas saja, kecelakan teknis yang disebabkan oleh operator
Sound System sangat mengganggu konsentrasi penonton yang akan menyaksikan
pertunjukan monolog ini.
Setelah lampu pertunjukan
secara perlahan dihidupkan dan musik digital sudah bisa diaktifkan oleh
operator sound system, lalu seorang tokoh perempuan (Tya) masuk sambil membawa
keranjang ke area panggung, ia menari mengikuti irama musik sambil mengelilingi
area permainan. Setelah musik berhenti (fade out), perempuan itu duduk di kursi
panjang. Sejenak suasana kembali hening, perempuan itu menatap ke sekeliling
penonton, menerawang ke langit-langit gedung pertunjukan, akhirnya ia
mengucapkan kalimat “Saya mencintai Demokrasi” dalam dialek Jawa. Sebuah teknik
muncul yang sederhana dan biasa namun mampu memberikan daya sugesti yang baik.
Penonton telah membangun impresi positif dalam pikirannya terhadap apa yang
dilakukan oleh Tya diawal pertunjukan. Persoalan-persoalan dalam pertunjukan
mulai digulirkan kehadapan penonton. Tokoh perempuan tersebut menceritakan
kalau dia adalah pimpinan demonstrasi RT Gang Gusus Depan. Ia bersama penghuni
RT Gugus Depan menolak pelebaran jalan yang akan dilakukan oleh petugas
kelurahan yang telah bekerja sama dengan pimpinan pabrik tekstil di kota itu.
Pelebaran jalan tersebut dilakukan atas dasar kepentingan bersama dan atas nama
nilai-nilai demokrasi.
Pelebaran jalan dengan cara
memangkas rumah warga yang berukuran enam meter kali empat bertujuan untuk
memudahkan akses para buruh pabrik menuju tempat kerja mereka. Hal ini dipahami
sebagai bentuk cita-cita demokrasi yang akan membantu masyarakat RT Gugus Depan
secara ekonomi. Jalan tersebut akan ramai dilalui, termasuk juga mobil-mobil,
bajaj dan kendaran bermotor. Para demonstran tetap melakukan penolakan terhadap
eksekusi tanah seluas dua meter tersebut. Petugas kelurahan mengerahkan
Buldozer sebagai jawaban atas penolakan warga tersebut, warga terus melakukan
perlawanan, walaupun nyawa yang harus menjadi taruhannya, demokrasi harus tetap
ditegakkan.
Tokoh Perempuan yang berperan
sebagai pimpinan para demonstran akhirnya tidak tega menghadapi situasi yang
begitu parah tersebut. Dengan sedikit melakukan pergantian kostum di atas
panggung, Ia berniat dan memberanikan diri untuk menemui pimpinan perusahaan
tekstil itu sendirian. Berbagai bujukan dan rayuan secara lisan oleh pimpinan
perusahan tekstil tersebut tidak mudah menggoyahkan sikap demokrasi yang sudah
tertanam dalam dirinya. Namun, ketika uang disodorkan tepat dihadapan matanya,
ia mulai bertanya dalam hati “apakah ia benar-benar mencintai demokrasi?”
ternyata tidak, perempuan itu telah rapuh, goyah dan terpedaya. Matanya melotot
memandang uang dalam amplop yang bertuliskan angka sebesar satu milyar.
Kata-kata demokrasi yang selalu ia kumandangkan akhirnya hilang dan lenyap
begitu saja waktu itu. Kemudian secara perlahan lampu mulai dipadamkan (fade
out) dan penonton bertepuk tangan. Maka selesai sudah pula “Demokrasi” dalam
pertunjukan malam itu.
Beberapa pertunjukan yang penulis amati dalam iven Mimbar Teater Indonesia (MTI) II, baik penampil grup maupun peserta monolog memiliki keberagaman dalam mencermati konsep pertunjukan dan tafsir terhadap teks-teks naskah drama Putu Wijaya. Keberagaman tersebut tercermin dari kemampuan para performer menyikapi wilayah permainan baik secara indoor maupun outdoor secara cerdas. Benny Yohanes dalam seminar Mimbar Teater Indonesia sempat memberikan ulasan terhadap beberapa pertunjukan yang telah disaksikannya, termasuk pertunjukan monolog “Dam” Wawan Syofwan dan “Demokrasi” Tya Setiawati. Dua pertunjukan ini dalan perspektif Benny Yohannes merupakan suatu usaha dalam mewujudkan akting representasional di atas pentas, pilihan ini tidak bisa dipandang secara sederhana begitu saja. Untuk menjadi seorang aktor yang baik dan mampu diterima oleh masyarakat penontonnya memang membutuhkan proses panjang dalam melatih kemampuan bermain tanpa henti, membina kecerdasan intelektual, emosional, spritual, termasuk juga kecerdasan secara sosial.
Beberapa pertunjukan yang penulis amati dalam iven Mimbar Teater Indonesia (MTI) II, baik penampil grup maupun peserta monolog memiliki keberagaman dalam mencermati konsep pertunjukan dan tafsir terhadap teks-teks naskah drama Putu Wijaya. Keberagaman tersebut tercermin dari kemampuan para performer menyikapi wilayah permainan baik secara indoor maupun outdoor secara cerdas. Benny Yohanes dalam seminar Mimbar Teater Indonesia sempat memberikan ulasan terhadap beberapa pertunjukan yang telah disaksikannya, termasuk pertunjukan monolog “Dam” Wawan Syofwan dan “Demokrasi” Tya Setiawati. Dua pertunjukan ini dalan perspektif Benny Yohannes merupakan suatu usaha dalam mewujudkan akting representasional di atas pentas, pilihan ini tidak bisa dipandang secara sederhana begitu saja. Untuk menjadi seorang aktor yang baik dan mampu diterima oleh masyarakat penontonnya memang membutuhkan proses panjang dalam melatih kemampuan bermain tanpa henti, membina kecerdasan intelektual, emosional, spritual, termasuk juga kecerdasan secara sosial.
Konteks lain, menyangkut
penyelenggaraan iven Mimbar Teater Indonesia (MTI) II, tetap saja memiliki
kekurangan yang cukup signifikan. Afrizal Malna menilai bahwa penyelenggaan
iven ini seperti tidak ada persiapan yang matang. Tidak ada foto-foto dan dokumentasi
visual mengenai pertunjukan Putu Wijaya dan Teater Mandiri-nya. Iven ini begitu
miskin dalam menyikapi masyarakat penonton teater terutama untuk penonton awam,
karena (menurut Afrizal Malna) tidak semua penonton mampu mengetahui secara
mendalam mengenai proses kreatif Putu Wijaya melalui teater Mandiri-nya.
Kemudian, Benny Yohanes juga kembali menambahkan, bahwa tidak ada ruang
tersendiri untuk para kreator dapat bertemu dan berbagi pengalaman mengenai
proses kreatif dan sejauh-mana tafsir mereka dalam menyikapi teks-teks naskah
drama Putu Wijaya tersebut.
Semoga kita semua dapat
belajar dari peristiwa budaya yang telah berlalu ini. Salam Teater
2. MAYUR:
TRAGEDI NEGERI YANG DIPARUT DALAM RUANG KECIL (CATATAN KECIL PERTUNJUKAN TEATER
RUANG BERJUDUL MAYUR KARYA/SUTRADARA ERY ARYANI) KRITIK OLEH
AFRIZAL HARUN
Pertemuan sayur-mayur
dengan peralatan dari kayu dan besi. Dengan kata lain bercerita tentang
pertabrakan antara benda lunak dengan benda keras dan tajam, atau manusia
bertabrakan dengan teknologi atau sistem yang “bertangan besi” (Joko Bibit
Santoso)
Ketika lampu perlahan
dihidupkan (fade in) pada sisi kiri belakang panggung, perempuan
dengan pakaian lusuh membawa parut kecil. Melalui sebuah gerak teatrikal,
perempuan membelakangi penonton menuju samping kanan, perempuan tersebut
menepuk parut sehingga memberikan gambaran kehidupan yang jatuh lalu diinjak
tanpa kata-kata sedikitpun hanya degup detak jantung dalam mengawali
pertunjukan malam itu. Lalu, seorang lelaki (sebut saja lelaki 1)
dengan rambut pendek, bertelanjang dada, bercelana pendek warna hitam muncul
dari sisi kiri belakang melalui eksplorasi tubuh seolah-olah menguntai dan
mengulur berjuta benang namun tetap saja tidak pernah terselesaikan. Bersamaan
dengan peristiwa tubuh yang sedang dibangun, seorang lelaki beramput gondrong (sebut
saja lelaki 2) muncul dari sisi kanan depan panggung dengan memberikan
sebuah tawaran gestur layaknya seorang yang sedang menggulung benang, namun
tetap saja benang itu merupakan sebuah imaji kerumitan hidup yang susah untuk
dituntaskan, tidak jelas, alias absurd. Mungkin saja ini sebuah
gambaran kehidupan yang absurd.
Tanpa kata, namun pertunjukan
berusaha memberikan ruang komunikasi dramatik melalui bahasa-bahasa tubuh,
sett, properti, dan pencahayaan sebagai teks pertunjukan yang penuh dengan
muatan-muatan semiotika visual. Dua lelaki berdialog bersama parut dan
tubuhnya, bergelut dengan teknik akrobatik tubuh layaknya fenomena teater tubuh
yang begitu menjadi perhatian dalam perkembangan teater kontemporer di
Indonesia saat sekarang ini seperti Teater Sae (Budi S Otong), Teater
Kubur (Dindon W.S), Teater Payung Hitam (Rahman Sabur), komunitas
seni Hitam-Putih (Yusril), teater Garasi (Yudi A Tajudin), Teater
Tetas (Ags. Arya Dipayana), Toni Broer, teater Sakata (Tya
Setiawati), namun tetap saja, Teater Ruang memiliki metode dan pilihan yang
berbeda dalam menyikapi tubuh sebagai media ekspresinya, teater yang mencoba
tidak ‘konsumtif’ (istilah yang dilontarkan Joko Bibit sebelum
pertunjukan dimulai) mungkin kita tidak perlu mengadopsi teater Barat secara
mentah-mentah, karena jelas kita memiliki kekayaan lokal yang begitu banyak
untuk digali dan dieksplorasi demi kebutuhan teater kita hari ini yaitu teater
Indonesia.
Kembali pada pertunjukan,
perempuan kembali muncul dengan membawa parut berukuran besar, ditengahnya
tertancap ribuan paku. Perempuan mencoba memahami parut besar dalam konteks
tekanan-tekanan. Perempuan meniduri ribuan paku yang tertancap pada papan
parut, bercinta dengan keperihan dan kepahitan, walaupun terkadang sedikit
kosong. Perempuan tetap saja berada pada posisi yang tidak begitu menguntungkan
dalam kehidupan, sub-ordinat, eksploitasi, pelecehan, dan semua
istilah yang tidak menguntungkan dalam aspek marginalisasi gender. Kemudian,
Sedikit tembang dari lelaki 2 yang berada di atas batten
lampu begitu memberikan sentuhan-sentuhan yang estetik dan lelaki 1
muncul sambil membawa sayur mayur, kemudian sayur mayur tersebut di buang ke
beberapa sisi panggung, lelaki 1 melampiaskan kemarahan pada properti
Mayur, dan menancapkan pada paku parut yang tergantung, perempuan bergerak
menuju arah depan kanan, Mayur-pun berjatuhan ke arahnya, lalu lingkaran jarum
yang diikat dengan benang secara perlahan turun, perempuan menggantung Mayur
pada jarum, dengan pencahayaan sederhana namun begitu membantu peristiwa
dramatik lakon, jarum kembali perlahan naik, perempuan menyanyikan lagu “Bintang
Kecil”, bagian ini sepertinya berupaya memberikan suatu konklusi
pertunjukan, namun tetap saja ambigu karena harapan-harapan tetap saja berujung
pada kesia-siaan, mungkin inilah sebuah tragedi kehidupan yang tidak akan
pernah selesai dan kita adalah generasi-generasi yang tetap saja diparut
layaknya Mayur. Kemudian, lampu perlahan dimatikan (fade out). Tepuk
tangan-pun menggema dari penonton yang mungkin saja banyak menimbulkan
pertanyaan dalam diri mereka, apa sebenarnya yang telah mereka lihat?
Begitulah akhir dari
pertunjukan Teater Ruang degan judul Mayur, karya/sutradara Ery Aryani yang
dipentaskan di Sanggar Teater Ruang, Kampung Tanggul Dawung Wetan RT 3/15,
Kelurahan Danukusuman, Solo, pada 1 Mei 2010 mulai pukul 20.00. Pertunjukan
yang sama juga sudah digelar pada hari sebelumnya, taanggal 30 April 2010.
Tragedi negeri yang
diparut dalam ruang kecil
Barangkali saja, ini hanyalah
sebuah interpretasi penulis dalam menangkap pertunjukan Mayur karya/sutradara
Ery Aryani produksi teater Ruang Surakarta. Walaupun banyak
kemungkinan-kemungkinan tafsir yang bisa dimunculkan dalam pertunjukan ini.
Sebuah peristiwa pertunjukan yang menjadikan tubuh sebagai media ekspresi dalam
mengkomunikasikan teks-teks sehingga memunculkan banyak sekali pemahaman
tersirat, karena teks pertunjukan yang hadir menjadi pemahaman sebagai tanda
dalam memahami persoalan-persoalan yang ada di luar teks itu sendiri. Persoalan
Indonesia, yang begitu kaya dengan sumber daya alam, namun tetap saja arus
globalisasi menggilas kekayaan tersebut, merusaknya, tanah tidak lagi menjadi
subur, karena pupuk sayuran tidak lagi organik. Mayur telah berubah menjadi Centucky
Fred Chicken, Mc Donald, Hot dog ala Amerika. Generasi hari ini telah
berubah menjadi generasi yang bermental komsumtif, hedonistik, korup
dan lain sebagainya. Inilah gambaran sebuah tragedi negeri yang penuh
carut-marut, kemudian diparut dalam ruang pertunjukan kecil dan sederhana
bernama teater tubuh.
Panggung kecil dalam kantong
kebudayaan dan seni pertunjukan yang hadir di tengah-tengah masyarakat, Teater
Ruang mencoba memberikan penawaran-penawaran eksplorasi tubuh, properti dan
pencahayaan. Walaupun secara ide hanya berangkat dari persoalan yang sederhana,
sutradara Ery Aryani mengutarakan pada sesi diskusi “Kita berjualan sayur
mayur selama satu bulan” karya ini hanya berangkat dari ide itu, kami
pernah membeli sayur mayur dari para petani di Cepogo Boyolali, dan dijual
kepada para pedagang di Pasar Legi Surakarta. Walaupun dari usaha berjualan
sayur yang sempat rugi Rp 4 juta akhirnya, menjadi sebuah inspirasi untuk
membuat pertunjukan Mayur. Selama satu bulan, tiga pemain melakukan eksplorasi
bentuk, dan mencari kemungkinan-kemungkinan artistik dalam menyikapi tubuh dan
properti sehingga menghasilkan sebuah karya teater tubuh yang layak untuk
diapresiasi.
Bukan hanya sekedar pujian,
barangkali sebuah kritik juga akan bisa membantu untuk proses selanjutnya.
Saaduddin (aktor teater Sakata Sumatera Barat) menyampaikan dalam sesi diskusi “apabila
ini dieksplorasi lagi lebih mendalam, barangkali saja suatu saat akan menemukan
kekuatan-kekuatan baru dalam pertunjukan ini”. Juga ada yang menyampaikan
“saya hanya suka melihat pertunjukan ini” lalu dari komentar yang lain
juga mengatakan “karena posisi saya begitu awam dengan teater, karena saya
mahasiswa tari. Saya melihat pertunjukan malam ini seperti koreografi tari
karena tidak ada dialog sedikitpun, walaupun hanya tembang, tapi tetap saja
yang saya lihat adalah tari”. sebuah komentar yang harus disikapi dengan
cermat dan bijak.
Penulis begitu mengapresiasi
semangat teater Ruang pimpinan Joko Bibit Santoso dalam melakukan proses
kreatif teater, menciptakan kantong-kantong pertunjukan sendiri walau
sederhana, memiliki penonton yang begitu apresiatif sehingga menjadi catatan
tersendiri bagi penulis. Namun, yang perlu dicermati dalam melakukan proses
eksplorasi tubuh hanyalah bagaimana memaknai tubuh itu sendiri sehingga tidak
terjebak pada situasi gerak koreografi yang artifisial, tanpa sebuah motivasi
laku maka ekspresi tubuh yang dijadikan sebagai teks pertunjukan hanyalah
sebuah gerak kosong tanpa isi. Penyikapan terhadap tubuh setidaknya mampu
menangkap makna-makna filosofi dari kehidupan yang sedang dicermati dalam
peristiwa pertunjukan, sehingga kita tidak terjebak pada
pencaharian-pencaharian estetika belaka walaupun itu sangat dibutuhkan, namun
yang paling penting adalah bagaimana seorang kreator (pemain dan sutradara
teater) harus mampu menjadikan teater sebagai sarana ekspresi dan komunikasi
kepada penikmat dari sesuatu persoalan kehidupan yang dihadirkan di atas
pentas. Salam Teater*
3. KRITIK PERTUNJUKAN LES CHAISES KARYA EUGENE IONESCO PADA FESTIVAL TEATER SE KARASIDENAN
SURAKARTA OLEH SMA NEGERI 1 SLOGOHIMO. KRITIK OLEH
Penampilan
pertama, dari SMA N 1 Slogohimo dengan nama kelompok Teater Awan Hijau.
Kelompok ini membawa naskah “Les Chaises” karya Eugene Ionesco
adaptasi “Kereta Kencana” W.S Rendra. Yang di sutradarai oleh Heru
Purwoko. Umi Rohmah sebagai nenek dan Tarjo sebagai kakek. Sebuah naskah absurd
yang diusung dalam tema Festival Drama Realis ini, menceritakan tentang dua
orang (kakek dan nenek) telah berusia ratusan tahun, dua orang yang kesepian
dan tidak memiliki anak, dua orang yang memilki kejayaan masa lalu namun di
masa tuanya hanya bisa berkhayal agar kematian yang segera mejemput mereka
berdua dapat menjadi sesuatu yang bermakna, namun tetap saja absurd. Dari
pertunjukan ini, saya melihat kurangnya suatu pendalaman terhadap proses akting
yang dilakukan di atas panggung sehingga terkesan dialog-dialog yang
dimunculkan sangat tergesa-gesa, karakter, gestur dan vokal yang coba
dieksplorasi tidak tampak hadir secara maksimal. Di tambah dengan unsur
pencahayaan yang sama sekali tidak mencerminkan penegasan dramatik pertunjukan.
Ada satu momen yang membuat saya tertawa geli waktu itu yaitu, terjadinya
sebuah kecelakaan teknis di atas panggung yaitu copotnya kumis tokoh kakek
sehingga membuyarkan seluruh impresi yang sudah saya bangun dari awal ketika
menyaksikan pertunjukan ini.
4. KRITIK PERTUNJUKAN “OPERA DUA
CINTA” PADA FESTIVAL TEATER SURAKARTA OLEH T’LANKANK ARTE
“Opera Dua Cinta”
karya Agung Pamuji Adi, sutradara Yustinus Popo. Sebuah cerita yang merupakan
modifikasi dari cerita klasik William Shakespeare yang berjudul Remeo dan
Juliet. Cerita Romeo dan Juliet gaya Yustinus Popo ini mengisahkan dua orang
remaja yang menjalin cinta, namun hubungan mereka sangat ditentang oleh orang
tua mereka terutama dari Ayah tokoh perempuan. Prinsip pertunjukan ini murni
sebuah hiburan yang menarik untuk di apresisasi. Pertunjukan ini memberikan
satu bentuk parodi gaya bercinta anak muda pelajar saat sekarang ini yang sudah
dipengaruhi dengan budaya globalisasi yang hedon dan cenderung
bersifat konsumeristik, teori-teori ilmu pengetahuan tidak dibutuhkan
lagi, kecuali pola hidup hura-hura dan tidak lagi memperhatikan nasehat orang
tua. Tidak ada penegasan dan intensitas karakter akting dalam pertunjukan ini,
karena layaknya kesenian tradisional, ketika ia keluar dari area permainan yang
masih kelihatan oleh penonton ia telah beralih fungsi sebagai dirinya, dan
ketika ia mulai berdialog kembali, maka ia seolah-olah menjadi tokoh yang ada
dalam cerita itu. Para pemusik berada ditengah-tengah panggung dengan seorang penyanyi
cantik sambil melantunkan irama lagu dan tari-tarian mencoba menyesuaikan
dengan peristiwa dramatik pertunjukan dari awal sampai akhir. Begitulah Bertold
Brecht memberikan batasan efek alienasi di dalam akting, berbeda
dengan konsep Constantin Sergeyev Stanislavsky dengan konsep inner act
(akting yang lahir dari dalam diri) sebuah persenyawaan tubuh dan pikiran
sehingga memberikan batasan yang disebut to be (menjadi). Sebenarnya
pertunjukan ini, tidak pas dalam tajuk festival drama realis kali ini, harus
dibuatkan ruang festival lain, mungkin saja festival drama eksperimental atau
yang lain sebagainya. Tetapi untuk sebuah kreativitas, dan kerapihan
adegan-peradegan maka pertunjukan ini sangat layak diapresiasi.
No comments:
Post a Comment