Tuesday, 23 June 2015

Wayang Thengul Kabupaten Bojonegoro



Wayang Thengul Merupakan kesenian wayang asli dari wilayah Bojonegoro. Saat ini tinggal 12 dalang yang masih aktif memainkan kesenian wayang thengul ini. Salah satunya dilakukan oleh dalang Mardji Deglek secara keliling.
Wayang ini berbentuk 3 dimensi dan biasanya dimainkan dengan diiringi gamelan pelog/slendro. Wayang thengul ini memang sudah jarang dipertunjukkan lagi, namun keberadaannya tetap dilestarikan di Bojonegoro, terutama di kecamatan kanor yang berjarak ± 40 Km dari Kota Bojonegoro. Jalan cerita yang sering dimainkan dari kesenian ini lebih banyak mengambil cerita menak.
Walaupun wayang thengul ini jarang dipertunjukkan lagi, tetapi keberadaannya tetap dilestarikan di Kabupaten Bojonegoro, khususnya di Kecamatan Kanor yang berasalkan dari kata KANORAGAN karena pada ssat itu warok ponorogo menunjukan kekuatab kanoragaanya di sela- sela pentas reog ponorogo dan wayang thengul, daerah ini yang berjarak ± 40 Km dari Kota Bojonegoro. Sedangkan jalan cerita dari wayang thengul ini lebih banyak mengambil warok suromenggolo dan sekitarnya.

  
Sejarah
Wayang thengul menjadi salah satu ikon Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Keberhasilan kesenian tradisi khas Bojonegoro itu bertahan hingga kini tak lepas dari peran Ki Sumardji Marto Deglek (73). Ia tak lelah memperkenalkan, melestarikan, dan mengajarkan wayang thengul.
Mbah Mardji, sapaannya, menyadari, tanpa kerja keras, wayang thengul terancam punah. Jika hal itu terjadi, generasi mendatang bangsa ini sekadar tahu wayang thengul dari cerita. Oleh karena itulah, ia mengupayakan regenerasi wayang thengul dengan mengader sejumlah dalang.
Meski usianya telah lanjut, Mbah Mardji tetap mendalang saat ada yang meminta. Ia berusaha memenuhi permintaan itu, mengingat wayang thengul adalah tontonan yang semakin langka. Kesenian tradisi itu menghadapi gempuran budaya pop, seperti organ tunggal dan dangdut.
”Akhir September lalu saya mendalang di Kabunan, Kecamatan Balen, dan Oktober sudah ada dua permintaan pentas. Gaya dan pola tampilan (wayang thengul) harus menyesuaikan perkembangan zaman, termasuk memadukannya dengan irama campursari dan dangdut,” ujar Mbah Mardji yang menampilkan wayang thengul untuk hajatan perkawinan, khitanan, murwakala (ruwatan), hingga memeriahkan peringatan proklamasi kemerdekaan RI.
Setiap kali pentas, dia dan kelompoknya, Sekar Laras Anglingdharma, mendapat imbalan Rp 5 juta. Uang itu dibagi untuk tiga pesinden, masing- masing sekitar Rp 400.000, sewa truk pengangkut wayang dan gamelan Rp 300.000-Rp 500.000.
Setelah dikurangi untuk dirinya sebesar Rp 1,2 juta, sisa uang pentas itu digunakan untuk imbalan bagi 16 panjak (pemain gamelan pengiring wayang) serta biaya perawatan wayang dan gamelan. ”Begitulah penghasilan kami. Bagaimanapun juga saya bersyukur, masih ada yang menyukai wayang thengul.”
Di luar permintaan pentas, Mbah Mardji berupaya memperkenalkan wayang thengul, terutama kepada warga Bojonegoro. Ia mengamen dari kampung ke kampung sejak 1968. Tak hanya di Bojonegoro, tetapi juga Lamongan, Tuban, bahkan Cepu, Blora, Jawa Tengah, pun didatanginya.
Saat mengamen, Mbah Mardji disertai seorang pesinden dan empat panjak. Biasanya mereka mengamen pukul 13.00-17.00 atau mulai pukul 20.00.
”Biasanya orang nanggap (memintanya mendalang) menjelang panen, tujuannya mengusir hama dan tikus,” kata Mbah Mardji yang bisa ditemui di Dusun Kalipang, Desa Tikusan, Kecamatan Kapas, atau di Growok, Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro.
Bertani
Di Growok, ia tinggal bersama istrinya, Endang Sumini. Rumahnya sederhana, berdinding kayu berukuran sekitar 5 meter x 7 meter, berlantai tanah. Seperangkat gamelan ada di ruang tamu, kendangnya digantung. Kotak wayang berisi 106 anak wayang dikunci dan diletakkan di atas meja.
Pada saat sepi tanggapan, Mbah Mardji bertani. Terkadang ia juga ikut memelihara tanaman hutan di Dander. Di sela tanaman jati berjarak 3 meter x 3 meter itu, ditanaminya menyok (ketela).
Untuk menunjang kegiatan sehari-hari, Mbah Mardji menggunakan sepeda. Dengan bersepeda dia mengurus rekomendasi saat mau mendalang sampai menengok tanaman di hutan. Ia biasa menempuh jarak sekitar 20 kilometer dari Tikusan, Kecamatan Kapas, ke Growok, Kecamatan Dander.
Ia bercerita, di dunia pedalangan namanya Ki Sumardji Marto Deglek. Marto adalah nama kakeknya yang juga dalang. Bakat mendalangnya pun warisan dari sang ayah, Niti Giatno Kencik. ”Ki Marto dulu juga dalang keliling,” ujarnya.
Mbah Mardji mulai mengenal dunia wayang sejak usia 14 tahun. Pada 1954, atau setahun kemudian, dia sudah menjadi dalang cilik. ”Sebenarnya waktu umur tujuh tahun, saya sudah membuat wayang dari tanah liat dan daun kluwih.”
Ia belajar mendalang dari sang ayah, ibaratnya magang. Ia mendampingi ayahnya sambil mengamati dan belajar mendalang. ”Kalau saya tanya tentang lakonnya, ayah saya baru mau menjawab dengan imbalan pijatan, ha-ha-ha,” cerita Mbah Mardji, satu-satunya anak dari lima bersaudara yang menjadi dalang.
Ia ingin mewariskan kepiawaian mendalang wayang thengul kepada keluarga. Namun, dua anaknya perempuan, cucunya pun perempuan. ”Jadi, saya tularkan ilmu mendalang ini kepada siapa saja yang mau belajar dan meneruskan wayang thengul,” katanya.
Guru
Oleh karena itulah, hampir semua dalang wayang thengul di Bojonegoro menganggap Mbah Mardji sebagai guru. Ia biasa melibatkan setidaknya dua dalang pada setiap pergelaran. Dalang yang menjadi kadernya pun diberi kesempatan unjuk kebolehan selama 1-2 jam.
Rumah Mbah Mardji juga kerap dikunjungi pelajar dan mahasiswa dari luar Bojonegoro, seperti Surabaya, Jember, dan Malang. Mereka umumnya datang untuk belajar wayang thengul dan wayang krucil.
”Memainkannya sama saja, bedanya, golekan (boneka) wayang thengul itu gilik (bulat tiga dimensi), sementara golekan wayang krucil kan pipih,” tutur Mbah Mardji yang juga bisa mendalang wayang purwa (kulit).
Mbah Mardji tak hanya memberi kesempatan belajar bagi kader dalang, tetapi juga mereka yang ingin menjadi panjak dan membuat wayang thengul.
Wayang thengul adalah tradisi pertunjukan wayang golek (boneka dari kayu) yang tumbuh dan berkembang di Bojonegoro. Istilah thengul berasal dari kata methentheng terus menthungul yang menyiratkan makna semangat untuk selalu tampil di permukaan ruang dan zaman.
Wayang thengul lebih dekat dengan lakon wayang menak, seperti cerita-cerita Panji atau Damarwulan. Namun, cerita tentang Wali Sanga pun menjadi lakon favorit yang kerap dipentaskan.
”Meski ada semacam ’pantangan’, seperti kalau di Bojonegoro jangan mengangkat cerita Anglingdharma, di Cepu jangan membawakan lakon Aryo Penangsang, atau di Tuban jangan sampai mengangkat lakon Ronggolawe gugur,” tuturnya tanpa memberikan alasan.


Sumber :
http://bojonegorokotaku.blogspot.com/2010/04/wayang-thengul.html
http://www.disbudpar-bjn.info/index.php/joomla-license/wayang/wayang-thengul

No comments:

Post a Comment