PERUBAHAN STRUKTUR DRAMATIK PERTUNJUKAN
SANDUR KABUPATEN BOJONEGORO DI ERA POSTMODERN
Oleh
Andre Catur
Wicaksono
NIM.12020134032
NIM.12020134032
Pendahuluan
Kesenian Sandur adalah
jenis kesenian tradisional yang berbentuk dramatari dengan mengambil cerita lokal
yang menggambarkan kehidupan sehari-hari (Winarti,2005:1). Kesenian ini tumbuh
dan berkembang sebagai aktivitas social budaya masyarakat agraris, yakni
masyarakat yang hidup dengan pola dan sistem pertanian sebagai sumber kehidupan
masyarakat setempat. Hal ini dapat diketahui dari bentuk pertunjukan dan isi
cerita yang ditampilkan rata-rata bertemakan tentang aktifitas pertanian
seperti mencari lahan pertanian untuk bercocok tanam, membajak ladag, menanam,
memanen serta persoalan-persoalan social masyarakat. Secara geografis
pertunjukan sandur tumbuh dan berkembang di beberapa daerah di jawa timur,
antara lain di kabupaten Bojonegoro, Tuban, Lamongan dan Nganjuk. Menurut
cerita, kesenian Sandur sudah ada sejak masa penjajahan Belanda, yang dipercaya
dulunya berasal dari permainan anak-anak yang kemudian berkembang menjadi
sebuah produk kesenian yang bertumpu pada upacara ritual. Kara ‘Sandur’ berasal
dari macam-macam istilah/versi. Sebuah sumber mengatakan bahwa kata Sandur
berasal dari kata isan yang berarti
selesai panen dan dhur yang berarti ngedhur atau semalam suntuk, adapula
yang menjelaskan bahwa Sandur berasal dari bahasa Belanda, yaitu soon yang berarti anak-anak dan door yang berarti meneruskan. Sumber
yang lain juga mengemukakan bahwa Sandur terdiri dari berbagai cerita yang
disebut ngedur, artinya kesenian itu
terjadi karena berisi tentang berbagai macam cerita yang tidak akan habis
sampai pagi. Selain itu ada juga yang memaknai Sandur merupakan akronim dari
kata beksan yang berarti tarian dan mundur, yaitu mundur, yakni adegan gerak
maju-mundur dalam pertunjukan Sandur.
Keberadaan kesenian
Sandur di beberapa daerah dipengaruhi oleh latar belakang masyarakat. Latar
social budaya masyarakat itu telah menciptakan persamaan dan perbedaan baik
dalam hal bentuk, gaya serta fungsi dari pertunjukan itu sendiri. Persamaan dan
perbedaan tersebut juga disebabkan oleh factor social kultur masyarakat yang
memiliki dinamika perubahan yang berbeda-beda. Sedyawati (1981:40) menegaskan
bahwa perubahan-perubahan masyarakat dan budaya telah menyebabkan teater
tradisi mengalami perubahan-perubahan bentuk maupun konsep. Hal tersebut juga
terdapat pada keragaman kesenian sandur yang disebabkan oleh perubahan yang
terjadi dalam masyarakat pendukungnya. Keragaman kesenian sandur dapat terlihat
pada kesenian Sandur yang terdapat di Desa Ledok Kulon, Kecamatan Bojonegoro,
Kabupaten Bojonegoro. Yang kini telah mengalami perubahan.
Kasim (1981:110)
mengatakan bahwa kesenian tradisional adalah suatu bentuk seni yang bersumber
dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat
pendukungnya. Cita rasa di sini mempunyai pengertian yang luas, termasuk “nilai
kehidupan tradisi”, pandangan hidup, pendekatan falsafah, rasa etis dan
estetis, serta ungkapan budaya lingkungan. Selanjutnya Kasim (1986:173-174)
mengemukakan bahwa bentuk teater tradisional adalah teater yang berwujud
sederahan, spontan, menyatu (akrab) dengan kehidupan masyarakat dan diwariskan
dari generasi ke generasi dalam jangka
waktu yang panjang. Pendapat tersebut memberikan uraian tentang proses
pembentukan dan nilai-nilai yang terkandung pada bentuk karya atau produk
kesenian yang terdapat pada suatu masyrakat.
Sandur sebagai produk
social budaya memiliki berbagai fungsi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
seperti fungsi ritual, sebagai sarana komunikasi sosial, dan fungsi hiburan.
Berbagai fungsi sandur ditentukan oleh perubahan kebutuhan masyarakat
pendukungnya. Perubahan-perubahan terjadi bukan karena manusia-manusia
pendukung kebudayaan daerah itu sendiri telah berubah. Hal tersebut terjadi
juga pada bentuk kesenian sandur yang terdapat di desa ledok kulon, kecamatan
Bojonegoro, Kabupaten Bojonegoro. Alasan pemilihan objek kajian pada pertunjukan
sandur Bojonegoro, selain keunikan pada pertunjukannya juga karena memiliki
unsur-unsur yang telah berubah secara signifikan. Dari hasil kajian bentuk
kesenian sandur tersebut, dapat diketahui unsur-unsur yang telah berubah
khususnya pada bagian struktur dramatic dari kesenian sandur.
A.
Modern dan PostModern
Modernisasi dalam ilmu sosial merujuk pada sebuah bentuk transformasi dari keadaan yang kurang maju atau
kurang berkembang ke arah yang lebih baik dengan harapan akan tercapai
kehidupan masyarakat yang lebih maju, berkembang, dan makmur.
Diungkapkan pula
modernisasi merupakan hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang sekarang ini.
Tingkat teknologi dalam membangun modernisasi betul-betul dirasakan dan
dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, dari kota metropolitan sampai ke desa-desa terpencil.
Zaman modern biasanya merujuk pada tahun-tahun
setelah 1500. Tahun tersebut
ditandai dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi Timur, penemuan Amerika
oleh Christopher Columbus, dimulainya Zeitgeist dan reformasi
gereja oleh Martin
Luther.
Masa modern
ditandai dengan perkembangan pesat di bidang ilmu
pengetahuan, politik, dan teknologi.
Dari akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, seni modern,politik, iptek, dan budaya tak hanya mendominasi Eropa Barat dan Amerika
Utara, namun juga hampir setiap jengkal daerah di dunia. Termasuk berbagai
macam pemikiran yang pro maupun yang kontra terhadap dunia Barat.
Peperangan brutal dan masalah lain dari masa ini, banyak diakibatkan dari
pertumbuhan yang cepat, dan hubungan antara hilangnya kekuatan norma agama dan
etika tradisional. Hal ini menimbulkan banyak reaksi terhadap perkembangan
modern. Optimisme dan kepercayaan dalam proses yang berjalan di tempat telah
dikritik oleh pascamodernisme sementara dominasi Eropa Barat dan
Amerika Utara atas benua lain telah dikritik oleh teori pascakolonial.
Sedangkan Post
Modern Adalah gerakan abad akhir ke-20 dalam seni, arsitektur, dan kritik itu
adalah keberangkatan dari modernisme. Postmodernisme termasuk interpretasi
skeptis terhadap budaya, sastra, seni, filsafat, sejarah, ekonomi, arsitektur,
fiksi, dan kritik sastra. Hal ini sering dikaitkan dengan dekonstruksi dan
pasca-strukturalisme karena penggunaannya sebagai istilah mendapatkan
popularitas yang signifikan pada waktu yang sama sebagai abad kedua puluh dalam
pemikiran post-struktural.
Postmodernisme
adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernisme-nya.Postmodernisme
bukanlah faham tunggal sebuah teori, namun justru menghargai teori-teori yang
bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal Banyak tokoh-tokoh yang memberikan
arti postmodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme. Namun kelanjutan itu menjadi sangat
beragam. Bagi Lyotard dan Geldner, modernisme adalah
pemutusan secara total dari modernisme.Bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard,
bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan
teori-teori[3].
Bagi David Graffin,
Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari moderinisme. Lalu bagi Giddens,
itu adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Yang terakhir, bagi Habermas,
merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai
Modernisasi Seni
Di Era Modern, kesenian
tradisi semakin terpinggirkan melihat masyarakat yang lebih tertarik dengan
kesenian yang lebih modern seperti band, acrobat dan lain sebagainya, sehingga
kesenian tradisi semakin larut dan berlahan menghilang. Evie Nur afifah dalam
makalahnya mengemukakan kesenian tradisi dulu memiliki tempat tersendiri
dikalangan masyarakat namun seiringin dengan masuknya budaya asing, kesenian
tradisi semakin surut. Namun beberapa kesenian tradisi adapula yang tetap
bertahan dengan memasukan budaya modern dalam kesenian tradisi.
B.
Sandur di Kabupaten Bojonegoro
Tradisi
rangkaian pertunjukan Sandur Desa Ledok Kulon Kecamatan Bojonegoro biasanya
diawali dengan kegiatan pra pertunjukan yang berupa proses ritual setrén, yakni meminta berkah leluhur (dhayang), khususnya untuk property
pertunjukan tertentu, yakni jaranan
(kuda kepang), tali tambang untuk adegan atraksi, kalongking, pecut (cemeti) untuk menyadarkan penari jaranan jaranan yang ndadi, serta nama-nama seperti tukang Njaran dan tukang ngalong. Properti pertunjukan tersebut dimasukan dan atau
diinapkan di dalam cungkup (makam leluhur)
beserta kelengkapan sesaji berupa kemenyan atau dupa, kembang setaman (aneka bunga), dan ulu wetu (hasil bumi), berupa padi, pisang dan buah-buahan lainnya.
Tujuan umum dari ritual ini adalah agar pertunjukan sandur yang akan
dilaksanakan dapat berjalan dengan lancer. Tujuan khususnya yakni agar property
yang akan digunakan pada saat pertunjukan mendapat berkah atau memiliki daya
magis, serta tidak mencelakai si pemakai. Tempat yang digunakan adalah di cungkup atau sing mbahureksa (yang menguasai secara gaib) desa tersebut. Jika
Sandur diadakan di desa lain, tempat untuk ritual tersebut adalah di cungkup di desa yang ditempati pentas.
Pertunjukan dimulai dengan kemunculan peran Germo,
yang memimpin upacara pendhayangan. Pendhayangan adalah upacara membakar
kemenyan dan sesaji cok-bakal di
sudut timur laut arena mbabar janur
kuning, arena pertunjukan yang berbentuk bujur sangkar. Setelah itu, pada
malam harinya dilaksanakan pertunjukan sandur. Jika dibandingkan dengan Pertunjukan
sandur di pedukuhan Randu Pokak desa Prunggahan Kulon kecamatan semanding
kabupaten tuban. pertunjukan sandur disini juga dibagi menjadi dua sesi yakni
bagian pra pertunjukan dan bagian pra pertunjukan. Sebelum pertunjukan di
mulai, dilangsungkan ritual setren/Nyetri
yang memiliki fungsi sama pola pendhayangan
yang ada di Bojonegoro. Di dalam tradisi sandur randu pokak, ritual setren dilakukan secara bersama dengan seluruh
pendukung pertunjukan dipimpin oleh Germo.
Ritual ini dilakukan dengan cara mendatangi Grumbul
atau tempat keramat yang ada di sekitar tempat pertunjukan akan digelar
dengan berjalan kaki. Biasanya ritual ini dilakukan sehari sebelum waktu
pertunjukan. Di daerah Randu Pokak, tempat yang biasanya digunakan untuk
melakukan setren adalah kuburan gembul, yaitu tempat pemakaman
umum yang ada di dukuh ini. Pelaksanaan ritual ini tidak memiliki ketentuan
khusus perihal tentang pilihan hari-har tertentu dan tidak ada semacam larangan
atau syarat khusus dengan waktu pe-nyatrenan. Tahap berikutnya setelah ritual setren dilaksanakan adalah menyiapkan
sarana pertunjukan. Sebelumnya, dilakukan ritual slametan yang dipimpin oleh tukang
tanduk. Ritual ini dilakukan dengan membacakan doa khusus dengan tujuan
agar dalam rangka mempersiapkan sarana atau arena pertunjukan dapat berjalan
lancer. Pada ritual ini dilakukan pembakaran tangkai padi kering dilengkapi
dengan membawa sajen yang terdiri dari berbagai makanan seperti gedhang raja, gedhang pulut, tumpeng, ketan
tawa, cok bakal, endog, kupat lepet, kendi dan jebor. Setelah acara slametan selesai, dilanjutkan dengan memasang
segala kebutuhan pentas antara lain memasang kentheng (tali pembatas arena pertunjukan), rontek, bamboo dan tali
untuk adegan kalongking, property dan
instrument music pengiring serta sesaji. Setelah seluruh kelengkapan
pertunjukan telah dipersiapkan, pada malam harinya dilaksanakan pertunjukan
secara menyeluruh. Rangkaian pertunjukan selanjutnya adalah tahap pertunjukan
yang dipimpin oleh Germo dan dimulai dengan adegan gabuhan, yakni adegan pembuka dengan melantunkan tetembagan bersama
panjak hore. Tembang pembuka adalah
tembang Semelah/Bismillah, kemudian
dilanjutkan dengan tembang kapuk uluk yang
berisikan tentang proses mencari tempat untuk pertunjukan. Setelah itu
dilanjutkan dengan tembang kembang tok yakni tembang saat masang pathok, kemudian tembang kembang
theleng yakni tembang saat memeasang kentheng
(tali pembatas pentas). Selanjutnya tembang
singkil yakni tembang tentang memasang khanthil
(kursi/bangku). Kemudian tembang kembang
nongko,yakni tembang saat memasang meja, dilanjutkan dengan tembang kembang wijen yakni tembang saat
memasang sajen atau sesaji, kemudian
tembang kembang wuring tembang saat
memasang bamboo. Setelah itu dilantunkan tembang kembang abang saat memasang kembang
mayang, dan dilanjutkan kembang
blutru saat memasang lampu, kembang
abang saat memasang kendang, kemudian yang terakhir saat memasang Gong
bamboo menembangkan kembang theleng.
Setelah selesai melantunkan tembang tersebut, ditutup dengan tembang Kembang Sigo Gori yang berisi tentang
jumlah panjak sandur yang terdiri
dari dua belas orang. Adegan Njaluk Idi dilangsungkan
setelah menyanyikan tembang kembang-kembangan
seperti tersebut diatas, selanjutnya dengan tembang kembang cerme yang berisikan tentang meminta izin atau uluk salam kepada dhayang tempat diselenggarakannnya pentas. Pada sandur randu pokak,
izin diminta kepada dhayang telon wiyu yang
dipercaya oleh masyarakat sebagai sang
mbahureksa daerah tersebut. Tembang ini memiliki tujuan agar setelah
dilantuntang tembang tersebut seluruh pendukung acara mendapatkan restu dan
berdoa agar terhindar dari sengkala atau
marabahaya yang mungkin terjadi selama pertunjukan berlangsung.
C.
Perubahan Struktur Dramatik Pertunjukan Sandur
Bojonegoro
Soedjono
(1993:313) berpendapat bahwa perbandingan bentuk pertunjukan untuk mengetahui
koherensi, masing-masing bagian dan unsur-unsurnya dapat dipahami keberadaan
struktur bentuknya secara keseluruhan dan korespondensi, yakni adanya hubungan
timbal balik antara subjek dan bentuknya yang bersifat secara internal dan
eksternal dalam meciptakan suatu kesatuan penampilan bentuk yang harmonis.
Unsur-unsur yang dianalisis adalah tema cerita, pemain, pola permainan, tata
rias dan busana, property, iringan tempat dan sarana pertunjukan, waktu penyajian
dan penonton dan berikut ini adalah uraian analisis unsur-unsur pertunjukan
sandur di Bojonegoro yang telah mengalami modernisasi dibandingkan dengan
sandur di kabupaten tuban
·
Tema
Tema lakon pertunjukan sandur adalah persoalan kehidupan sehari-hari tentang pertanian. Dalam hal ini kehisupan yang mencakup hubungan antar masyarakat, antara masyarakat dengan individu dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Lakon sandur bercerita tentang persoalan social, konflik, serta peristiwa yang dapat ditemui pada kehidupan masyarakat petani misalnya, mencari pekerjaan, menggarap lahan pertanianm saling mengejek kekurangan uang. Sebagai contoh adalah lakon pethak ngenger. Dalam lakin ini di ceritakan tentang tokoh pethak yang sedang mencari pekerjaan kepada germo, namun Germo tidak dapat memenuhi, kemudian menyarankan kepada pethak untuk meminta pekerjaan kepada tansi. Di tempat tangsil, pethak juga tidak dape pekerjaan yang kemudian dialihkan kepada balong. Yang akhirnya balong yang memberikan pekerjaan kepada pekhak, yakni mencari lahan pertanian untuk bercocok tanam.
Tema lakon pertunjukan sandur adalah persoalan kehidupan sehari-hari tentang pertanian. Dalam hal ini kehisupan yang mencakup hubungan antar masyarakat, antara masyarakat dengan individu dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Lakon sandur bercerita tentang persoalan social, konflik, serta peristiwa yang dapat ditemui pada kehidupan masyarakat petani misalnya, mencari pekerjaan, menggarap lahan pertanianm saling mengejek kekurangan uang. Sebagai contoh adalah lakon pethak ngenger. Dalam lakin ini di ceritakan tentang tokoh pethak yang sedang mencari pekerjaan kepada germo, namun Germo tidak dapat memenuhi, kemudian menyarankan kepada pethak untuk meminta pekerjaan kepada tansi. Di tempat tangsil, pethak juga tidak dape pekerjaan yang kemudian dialihkan kepada balong. Yang akhirnya balong yang memberikan pekerjaan kepada pekhak, yakni mencari lahan pertanian untuk bercocok tanam.
·
Pemain
Pada
awalnya, seluruh pemain pertunjukan sandur diperankan oleh laki-laki, namun
dalam perkembangannya dapat berubah sesuai dengan kebutuhan ceritanya. Sebagai
contoh pertunjukan sandur di Bojonegoro tokoh cawik di gantikan pada peran
perempuan, namun tidak untuk Sandur dituban yang seluruh pemainnya tetap
laki-laki hingga saat ini. Pola peran tokoh perempuan yang dimainkan oleh laki
–laki (transvetis) pada penokohan ini dianggap sebagai peraturan yang tidak
dapat diubah. Selain itu, masih dipertahankan aturan bahwa pertunjukan sandur
dimainkan oleh anak laki-laki yang belum balig
atau belum dikhitan. Menurut peraturan, anak anak tersebut tidak bias
dikhitan sebelum memainkan peran pada pertunjukan sandur sebanyak empat puluh
kali. Aturan tersebut sudah menjadi pakem phususnya pada peran Pethak, Cawik, Tangsil dan Balong. Empat tokoh inilah yang disebut
sebagai “Sandur” dalam tradisi sandur tuban. Maksud dari fenomena ini
adalah menjaga kesakralan dalam setiap
pertunjukannya.
Beberapa
pemain yang sudah disebutkan diatas adalah unsur pemain yang sama-sama terdapat
pada masing-masing sandur. Selain pemain tersebut, masih ada beberapa pemain
yang tidak dimiliki oleh masing-masing sandur yang akhirnya menjadi identitas
kekhususan masing masing. Misalnya dalam sandur bojonegoro terdapat tukang njaran, srati, pendegra dan tukang ngalong. Demikian pula pada
sandur tuban masih terdapat pula pelaku yang tidak di temukan di sandur
bojonehoro yakni MAntri, Nyai, Cah Angon,
Kaji Nyolong, Celeng, Cino dingklang pados celeng, sopir cikar (bajingan) juru
kunci/tukang tandhuk, ketua rombongan, panjak oncor, tukang kedhut dan tukang bancik.
·
Pola Permainan
Dalam
penyajiannya pada sandur bojonegoro terdiri dari tiga bagian yaitu :
a.
Bagian pembuka
b.
Bagian isi
cerita
c.
Bagian penutup
Dalam
bentuk penyajiannya dandur dilakukan dengan dialog dan menari. Dialog yang
digunakan adalah bahasa jawa dengan dialeg Bojonegoro. Dialog dilakukan secara
berulang-ulang sehingga terkesan monoton yang diungkapkan tidak hanya laku dan
suara (dalam bentuk percakapan), tetapi serentak dilakukan juga dengan
menyanyikan dan bergerak yang diiringi music secara terpadu. Pada sandur tuban,
pertunjukan terdiri dari empat bagian yakni :
a.
Bagian Pra
Pertunjukan
b.
Pembukaan
c.
Adegan Inti
d.
Penutup dengan gambuh oleh-oleh.
Instrumen yang digunakan cukup sederhana yakni menggunakan
sebuah kendhang batangan dan gong bumbung (bambu besar berukuran sekitar 1
meter, cara membunyikan dengan ditiup). Selain instrument pengiring tersebut
juga terdapat tembang-tembang sebagai iringan yang dinyanyikan panjak hore.
Tempat
pertunjukan biasanya disebut blabar janur kuning dalam sandur
bojonegoro atau kalangan pada
pertunjukan sandur di tuban. Arena dibatasi dengan tali sebagai pagar pemisah
antara pemain dan penonton. Tali pagar tersebut diberi hiasan janur kuning dan
digantungi aneka jajan pasar. Selain
itu ada juga ketupat dan lepet. Pada tradisinya dandur di tuban maupun
bojonegoro keduanya dipentaskan pada malam hari yakni dimulai pada pukul 21.00
sampai menjelang subuh. Namun pada perkembangannya, saat ini sandur dipentaskan
dengan durasi 2-3 jam saja. Factor-faktor yang membuat durasi sandur mulai
berkurang diantaranya adalah kesesuaian cerita dan tujuan yang akan
disampaiakan, keberadaan penonton juga menjadi perhatian pada sukses atau
tidaknya pertunjuan sandur.
KESIMPULAN
Kesenian
sandur sebagai kesenian rakyat memiliki wujud atau bentuk khas yang berdiri
sendiri secara utuh. Bentuk tersebut dapat dinilai melalui analisa unsur-unsur
yang terdapat di dalamnya. Proses analisa ini berupaya untuk menelaah secara
mendalam tenatng elemen-elemen yang terdapat pada pertunjukan sandur.
Pengkajian pertunjukan sandur ini bertujuan untuk menganalisa unsur-unsur pembentuk
kesenian tersebut pada dua daerah yang berbeda, yaitu pada tema cerita, pemain
dan pola permainan pertunjukan sandur di Bojonegoro dan Tuban. Hasil dari
analisis yang telah dilakukan menunjukan adanya persamaan dan perbedaan
unsur-unsur pertunjukan sandur di kabupaten bojonegor dan tuban. Karya seni
yang dibandingkan perlu mendapatkan perhatian khusus sebagai media yang akan
menghantarkan pada proses pemahaman terhadap nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Afifah,Evie, 2014. Jurnal Seni ketoprak di era modern.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret
Bambang Sugiharto., Postmodernisme - Tantangan bagi
Filsafat, Yogyakarta:Kanisius, 1996
Kleden.Ignas.1988.Sikap Ilmiah dan Kritik kebudayaan, cetakan
kedua. Jakarta LP3ES
Koentjaningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta : PN Balai
Pustaka
Soedjono, Soeprapto.
1994. Fenomena bentuk estetik dalam studi
perbadingan seni dalam
Jurnal SENI,
Volume IV/No.04 Oktober
Soekadijo.1996.Anatomi Pariwisatai. Jakarta : Gramedia
Sudarsono.2002.Seni Pertunjukan Indonesia di era
Globalisasi.Yogyakarta : UGM Press
Yudiaryani,Prof. 2004. Panggung Teater Dunia. Yogyakta :
Gramedia
Ruth Reichl,Cook's.1989;American
Heritage Dictionary's definition of "postmodern"
PUSTAKA MAYA
http://citizen6.liputan6.com/read/755021/sandur-kearifan-lokal-yang-terpendam
Narasumber
Masnoen,S.Sn. 50 Tahun,
Seniman dan penggiat sandur di Kabupaten Bojonegoro
No comments:
Post a Comment