Tuesday, 23 June 2015

PERUBAHAN STRUKTUR DRAMATIK PERTUNJUKAN SANDUR KABUPATEN BOJONEGORO DI ERA POSTMODERN



PERUBAHAN STRUKTUR DRAMATIK PERTUNJUKAN SANDUR KABUPATEN BOJONEGORO DI ERA POSTMODERN
Oleh
Andre Catur Wicaksono
NIM.12020134032
Pendahuluan
Kesenian Sandur adalah jenis kesenian tradisional yang berbentuk dramatari dengan mengambil cerita lokal yang menggambarkan kehidupan sehari-hari (Winarti,2005:1). Kesenian ini tumbuh dan berkembang sebagai aktivitas social budaya masyarakat agraris, yakni masyarakat yang hidup dengan pola dan sistem pertanian sebagai sumber kehidupan masyarakat setempat. Hal ini dapat diketahui dari bentuk pertunjukan dan isi cerita yang ditampilkan rata-rata bertemakan tentang aktifitas pertanian seperti mencari lahan pertanian untuk bercocok tanam, membajak ladag, menanam, memanen serta persoalan-persoalan social masyarakat. Secara geografis pertunjukan sandur tumbuh dan berkembang di beberapa daerah di jawa timur, antara lain di kabupaten Bojonegoro, Tuban, Lamongan dan Nganjuk. Menurut cerita, kesenian Sandur sudah ada sejak masa penjajahan Belanda, yang dipercaya dulunya berasal dari permainan anak-anak yang kemudian berkembang menjadi sebuah produk kesenian yang bertumpu pada upacara ritual. Kara ‘Sandur’ berasal dari macam-macam istilah/versi. Sebuah sumber mengatakan bahwa kata Sandur berasal dari kata isan yang berarti selesai panen dan dhur yang berarti ngedhur atau semalam suntuk, adapula yang menjelaskan bahwa Sandur berasal dari bahasa Belanda, yaitu soon yang berarti anak-anak dan door yang berarti meneruskan. Sumber yang lain juga mengemukakan bahwa Sandur terdiri dari berbagai cerita yang disebut ngedur, artinya kesenian itu terjadi karena berisi tentang berbagai macam cerita yang tidak akan habis sampai pagi. Selain itu ada juga yang memaknai Sandur merupakan akronim dari kata beksan yang berarti tarian dan mundur, yaitu mundur, yakni adegan gerak maju-mundur dalam pertunjukan Sandur.
Keberadaan kesenian Sandur di beberapa daerah dipengaruhi oleh latar belakang masyarakat. Latar social budaya masyarakat itu telah menciptakan persamaan dan perbedaan baik dalam hal bentuk, gaya serta fungsi dari pertunjukan itu sendiri. Persamaan dan perbedaan tersebut juga disebabkan oleh factor social kultur masyarakat yang memiliki dinamika perubahan yang berbeda-beda. Sedyawati (1981:40) menegaskan bahwa perubahan-perubahan masyarakat dan budaya telah menyebabkan teater tradisi mengalami perubahan-perubahan bentuk maupun konsep. Hal tersebut juga terdapat pada keragaman kesenian sandur yang disebabkan oleh perubahan yang terjadi dalam masyarakat pendukungnya. Keragaman kesenian sandur dapat terlihat pada kesenian Sandur yang terdapat di Desa Ledok Kulon, Kecamatan Bojonegoro, Kabupaten Bojonegoro. Yang kini telah mengalami perubahan.
Kasim (1981:110) mengatakan bahwa kesenian tradisional adalah suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat pendukungnya. Cita rasa di sini mempunyai pengertian yang luas, termasuk “nilai kehidupan tradisi”, pandangan hidup, pendekatan falsafah, rasa etis dan estetis, serta ungkapan budaya lingkungan. Selanjutnya Kasim (1986:173-174) mengemukakan bahwa bentuk teater tradisional adalah teater yang berwujud sederahan, spontan, menyatu (akrab) dengan kehidupan masyarakat dan diwariskan dari generasi  ke generasi dalam jangka waktu yang panjang. Pendapat tersebut memberikan uraian tentang proses pembentukan dan nilai-nilai yang terkandung pada bentuk karya atau produk kesenian yang terdapat pada suatu masyrakat.
Sandur sebagai produk social budaya memiliki berbagai fungsi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti fungsi ritual, sebagai sarana komunikasi sosial, dan fungsi hiburan. Berbagai fungsi sandur ditentukan oleh perubahan kebutuhan masyarakat pendukungnya. Perubahan-perubahan terjadi bukan karena manusia-manusia pendukung kebudayaan daerah itu sendiri telah berubah. Hal tersebut terjadi juga pada bentuk kesenian sandur yang terdapat di desa ledok kulon, kecamatan Bojonegoro, Kabupaten Bojonegoro. Alasan pemilihan objek kajian pada pertunjukan sandur Bojonegoro, selain keunikan pada pertunjukannya juga karena memiliki unsur-unsur yang telah berubah secara signifikan. Dari hasil kajian bentuk kesenian sandur tersebut, dapat diketahui unsur-unsur yang telah berubah khususnya pada bagian struktur dramatic dari kesenian sandur.

A.    Modern dan PostModern
Modernisasi dalam ilmu sosial merujuk pada sebuah bentuk transformasi dari keadaan yang kurang maju atau kurang berkembang ke arah yang lebih baik dengan harapan akan tercapai kehidupan masyarakat yang lebih maju, berkembang, dan makmur.
Diungkapkan pula modernisasi merupakan hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang sekarang ini. Tingkat teknologi dalam membangun modernisasi betul-betul dirasakan dan dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, dari kota metropolitan sampai ke desa-desa terpencil.
Zaman modern biasanya merujuk pada tahun-tahun setelah 1500. Tahun tersebut ditandai dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi Timur, penemuan  Amerika  oleh Christopher Columbus, dimulainya Zeitgeist dan reformasi gereja oleh Martin Luther.
Masa modern ditandai dengan perkembangan pesat di bidang ilmu pengetahuan, politik, dan teknologi. Dari akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, seni modern,politik, iptek, dan budaya tak hanya mendominasi Eropa Barat dan Amerika Utara, namun juga hampir setiap jengkal daerah di dunia. Termasuk berbagai macam pemikiran yang pro maupun yang kontra terhadap dunia Barat. Peperangan brutal dan masalah lain dari masa ini, banyak diakibatkan dari pertumbuhan yang cepat, dan hubungan antara hilangnya kekuatan norma agama dan etika tradisional. Hal ini menimbulkan banyak reaksi terhadap perkembangan modern. Optimisme dan kepercayaan dalam proses yang berjalan di tempat telah dikritik oleh pascamodernisme sementara dominasi Eropa Barat dan Amerika Utara atas benua lain telah dikritik oleh teori pascakolonial.
Sedangkan Post Modern Adalah gerakan abad akhir ke-20 dalam seni, arsitektur, dan kritik itu adalah keberangkatan dari modernisme. Postmodernisme termasuk interpretasi skeptis terhadap budaya, sastra, seni, filsafat, sejarah, ekonomi, arsitektur, fiksi, dan kritik sastra. Hal ini sering dikaitkan dengan dekonstruksi dan pasca-strukturalisme karena penggunaannya sebagai istilah mendapatkan popularitas yang signifikan pada waktu yang sama sebagai abad kedua puluh dalam pemikiran post-struktural.
Postmodernisme adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernisme-nya.Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuah teori, namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal Banyak tokoh-tokoh yang memberikan arti postmodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme. Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam. Bagi Lyotard dan Geldner, modernisme adalah pemutusan secara total dari modernisme.Bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori[3]. Bagi David Graffin, Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari moderinisme. Lalu bagi Giddens, itu adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Yang terakhir, bagi Habermas, merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai
Modernisasi Seni
Di Era Modern, kesenian tradisi semakin terpinggirkan melihat masyarakat yang lebih tertarik dengan kesenian yang lebih modern seperti band, acrobat dan lain sebagainya, sehingga kesenian tradisi semakin larut dan berlahan menghilang. Evie Nur afifah dalam makalahnya mengemukakan kesenian tradisi dulu memiliki tempat tersendiri dikalangan masyarakat namun seiringin dengan masuknya budaya asing, kesenian tradisi semakin surut. Namun beberapa kesenian tradisi adapula yang tetap bertahan dengan memasukan budaya modern dalam kesenian tradisi.

B.     Sandur di Kabupaten Bojonegoro
Tradisi rangkaian pertunjukan Sandur Desa Ledok Kulon Kecamatan Bojonegoro biasanya diawali dengan kegiatan pra pertunjukan yang berupa proses ritual setrén, yakni meminta berkah leluhur (dhayang), khususnya untuk property pertunjukan tertentu, yakni jaranan (kuda kepang), tali tambang untuk adegan atraksi, kalongking, pecut (cemeti) untuk menyadarkan penari jaranan jaranan yang ndadi, serta nama-nama seperti tukang Njaran dan tukang ngalong. Properti pertunjukan tersebut dimasukan dan atau diinapkan di dalam cungkup (makam leluhur) beserta kelengkapan sesaji berupa kemenyan atau dupa, kembang setaman (aneka bunga), dan ulu wetu (hasil bumi), berupa padi, pisang dan buah-buahan lainnya. Tujuan umum dari ritual ini adalah agar pertunjukan sandur yang akan dilaksanakan dapat berjalan dengan lancer. Tujuan khususnya yakni agar property yang akan digunakan pada saat pertunjukan mendapat berkah atau memiliki daya magis, serta tidak mencelakai si pemakai. Tempat yang digunakan adalah di cungkup atau sing mbahureksa (yang menguasai secara gaib) desa tersebut. Jika Sandur diadakan di desa lain, tempat untuk ritual tersebut adalah di cungkup di desa yang ditempati pentas. Pertunjukan dimulai dengan kemunculan peran Germo, yang memimpin upacara pendhayangan. Pendhayangan adalah upacara membakar kemenyan dan sesaji cok-bakal di sudut timur laut arena mbabar janur kuning, arena pertunjukan yang berbentuk bujur sangkar. Setelah itu, pada malam harinya dilaksanakan pertunjukan sandur. Jika dibandingkan dengan Pertunjukan sandur di pedukuhan Randu Pokak desa Prunggahan Kulon kecamatan semanding kabupaten tuban. pertunjukan sandur disini juga dibagi menjadi dua sesi yakni bagian pra pertunjukan dan bagian pra pertunjukan. Sebelum pertunjukan di mulai, dilangsungkan ritual setren/Nyetri yang memiliki fungsi sama pola pendhayangan yang ada di Bojonegoro. Di dalam tradisi sandur randu pokak, ritual  setren  dilakukan secara bersama dengan seluruh pendukung pertunjukan dipimpin oleh Germo. Ritual ini dilakukan dengan cara mendatangi Grumbul atau tempat keramat yang ada di sekitar tempat pertunjukan akan digelar dengan berjalan kaki. Biasanya ritual ini dilakukan sehari sebelum waktu pertunjukan. Di daerah Randu Pokak, tempat yang biasanya digunakan untuk melakukan setren adalah kuburan gembul, yaitu tempat pemakaman umum yang ada di dukuh ini. Pelaksanaan ritual ini tidak memiliki ketentuan khusus perihal tentang pilihan hari-har tertentu dan tidak ada semacam larangan atau syarat khusus dengan waktu pe-nyatrenan. Tahap berikutnya setelah ritual setren dilaksanakan adalah menyiapkan sarana pertunjukan. Sebelumnya, dilakukan ritual slametan yang dipimpin oleh tukang tanduk. Ritual ini dilakukan dengan membacakan doa khusus dengan tujuan agar dalam rangka mempersiapkan sarana atau arena pertunjukan dapat berjalan lancer. Pada ritual ini dilakukan pembakaran tangkai padi kering dilengkapi dengan membawa sajen yang terdiri dari berbagai makanan seperti gedhang raja, gedhang pulut, tumpeng, ketan tawa, cok bakal, endog, kupat lepet, kendi dan jebor. Setelah acara slametan selesai, dilanjutkan dengan memasang segala kebutuhan pentas antara lain memasang kentheng (tali pembatas arena pertunjukan), rontek, bamboo dan tali untuk adegan kalongking, property dan instrument music pengiring serta sesaji. Setelah seluruh kelengkapan pertunjukan telah dipersiapkan, pada malam harinya dilaksanakan pertunjukan secara menyeluruh. Rangkaian pertunjukan selanjutnya adalah tahap pertunjukan yang dipimpin oleh Germo  dan dimulai dengan adegan gabuhan, yakni adegan pembuka dengan melantunkan tetembagan bersama  panjak hore. Tembang pembuka adalah tembang Semelah/Bismillah, kemudian dilanjutkan dengan tembang kapuk uluk yang berisikan tentang proses mencari tempat untuk pertunjukan. Setelah itu dilanjutkan dengan tembang kembang tok  yakni tembang saat masang pathok, kemudian tembang kembang theleng yakni tembang saat memeasang kentheng (tali pembatas pentas). Selanjutnya tembang singkil yakni tembang tentang memasang khanthil (kursi/bangku). Kemudian tembang kembang nongko,yakni tembang saat memasang meja, dilanjutkan dengan tembang kembang wijen yakni tembang saat memasang sajen atau sesaji, kemudian tembang kembang wuring tembang saat memasang bamboo. Setelah itu dilantunkan tembang kembang abang saat memasang kembang mayang, dan dilanjutkan kembang blutru saat memasang lampu, kembang abang saat memasang kendang, kemudian yang terakhir saat memasang Gong bamboo menembangkan kembang theleng. Setelah selesai melantunkan tembang tersebut, ditutup dengan tembang Kembang Sigo Gori yang berisi tentang jumlah panjak sandur yang terdiri dari dua belas orang. Adegan Njaluk Idi dilangsungkan setelah menyanyikan tembang kembang-kembangan seperti tersebut diatas, selanjutnya dengan tembang kembang cerme yang berisikan tentang meminta izin atau uluk salam kepada dhayang tempat diselenggarakannnya pentas. Pada sandur randu pokak, izin diminta kepada dhayang telon wiyu yang dipercaya oleh masyarakat sebagai sang mbahureksa daerah tersebut. Tembang ini memiliki tujuan agar setelah dilantuntang tembang tersebut seluruh pendukung acara mendapatkan restu dan berdoa agar terhindar dari sengkala atau marabahaya yang mungkin terjadi selama pertunjukan berlangsung.
C.     Perubahan Struktur Dramatik Pertunjukan Sandur Bojonegoro
Soedjono (1993:313) berpendapat bahwa perbandingan bentuk pertunjukan untuk mengetahui koherensi, masing-masing bagian dan unsur-unsurnya dapat dipahami keberadaan struktur bentuknya secara keseluruhan dan korespondensi, yakni adanya hubungan timbal balik antara subjek dan bentuknya yang bersifat secara internal dan eksternal dalam meciptakan suatu kesatuan penampilan bentuk yang harmonis. Unsur-unsur yang dianalisis adalah tema cerita, pemain, pola permainan, tata rias dan busana, property, iringan tempat dan sarana pertunjukan, waktu penyajian dan penonton dan berikut ini adalah uraian analisis unsur-unsur pertunjukan sandur di Bojonegoro yang telah mengalami modernisasi dibandingkan dengan sandur di kabupaten tuban

·         Tema
Tema lakon pertunjukan sandur adalah persoalan kehidupan sehari-hari tentang pertanian. Dalam hal ini kehisupan yang mencakup hubungan antar masyarakat, antara masyarakat dengan individu dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Lakon sandur bercerita tentang persoalan social, konflik, serta peristiwa yang dapat ditemui pada kehidupan masyarakat petani misalnya, mencari pekerjaan, menggarap lahan pertanianm saling mengejek kekurangan uang. Sebagai contoh adalah lakon pethak ngenger. Dalam lakin ini di ceritakan tentang tokoh pethak yang sedang mencari pekerjaan kepada germo, namun Germo tidak dapat memenuhi, kemudian menyarankan kepada pethak untuk meminta pekerjaan kepada tansi. Di tempat tangsil, pethak juga tidak dape pekerjaan yang kemudian dialihkan kepada balong. Yang akhirnya balong yang memberikan pekerjaan kepada pekhak, yakni mencari lahan pertanian untuk bercocok tanam.
·         Pemain
Pada awalnya, seluruh pemain pertunjukan sandur diperankan oleh laki-laki, namun dalam perkembangannya dapat berubah sesuai dengan kebutuhan ceritanya. Sebagai contoh pertunjukan sandur di Bojonegoro tokoh cawik di gantikan pada peran perempuan, namun tidak untuk Sandur dituban yang seluruh pemainnya tetap laki-laki hingga saat ini. Pola peran tokoh perempuan yang dimainkan oleh laki –laki (transvetis) pada penokohan ini dianggap sebagai peraturan yang tidak dapat diubah. Selain itu, masih dipertahankan aturan bahwa pertunjukan sandur dimainkan oleh anak laki-laki yang belum balig atau belum dikhitan. Menurut peraturan, anak anak tersebut tidak bias dikhitan sebelum memainkan peran pada pertunjukan sandur sebanyak empat puluh kali. Aturan tersebut sudah menjadi pakem phususnya pada peran Pethak, Cawik, Tangsil dan Balong. Empat tokoh inilah yang disebut sebagai “Sandur” dalam tradisi sandur tuban. Maksud dari fenomena ini adalah  menjaga kesakralan dalam setiap pertunjukannya.
Beberapa pemain yang sudah disebutkan diatas adalah unsur pemain yang sama-sama terdapat pada masing-masing sandur. Selain pemain tersebut, masih ada beberapa pemain yang tidak dimiliki oleh masing-masing sandur yang akhirnya menjadi identitas kekhususan masing masing. Misalnya dalam sandur bojonegoro terdapat tukang njaran, srati, pendegra dan tukang ngalong. Demikian pula pada sandur tuban masih terdapat pula pelaku yang tidak di temukan di sandur bojonehoro yakni MAntri, Nyai, Cah Angon, Kaji Nyolong, Celeng, Cino dingklang pados celeng, sopir cikar (bajingan) juru kunci/tukang tandhuk, ketua rombongan, panjak oncor, tukang kedhut dan tukang bancik.
·         Pola Permainan
Dalam penyajiannya pada sandur bojonegoro terdiri dari tiga bagian yaitu :
a.       Bagian pembuka
b.      Bagian isi cerita
c.       Bagian penutup
Dalam bentuk penyajiannya dandur dilakukan dengan dialog dan menari. Dialog yang digunakan adalah bahasa jawa dengan dialeg Bojonegoro. Dialog dilakukan secara berulang-ulang sehingga terkesan monoton yang diungkapkan tidak hanya laku dan suara (dalam bentuk percakapan), tetapi serentak dilakukan juga dengan menyanyikan dan bergerak yang diiringi music secara terpadu. Pada sandur tuban, pertunjukan terdiri dari empat bagian yakni :
a.       Bagian Pra Pertunjukan
b.      Pembukaan
c.       Adegan Inti
d.      Penutup dengan gambuh oleh-oleh.

Instrumen yang digunakan cukup sederhana yakni menggunakan sebuah kendhang batangan dan gong bumbung (bambu besar berukuran sekitar 1 meter, cara membunyikan dengan ditiup). Selain instrument pengiring tersebut juga terdapat tembang-tembang sebagai iringan yang dinyanyikan panjak hore.
Tempat pertunjukan biasanya disebut blabar janur kuning dalam sandur bojonegoro atau kalangan pada pertunjukan sandur di tuban. Arena dibatasi dengan tali sebagai pagar pemisah antara pemain dan penonton. Tali pagar tersebut diberi hiasan janur kuning dan digantungi aneka jajan pasar. Selain itu ada juga ketupat dan lepet. Pada tradisinya dandur di tuban maupun bojonegoro keduanya dipentaskan pada malam hari yakni dimulai pada pukul 21.00 sampai menjelang subuh. Namun pada perkembangannya, saat ini sandur dipentaskan dengan durasi 2-3 jam saja. Factor-faktor yang membuat durasi sandur mulai berkurang diantaranya adalah kesesuaian cerita dan tujuan yang akan disampaiakan, keberadaan penonton juga menjadi perhatian pada sukses atau tidaknya pertunjuan sandur.

KESIMPULAN
Kesenian sandur sebagai kesenian rakyat memiliki wujud atau bentuk khas yang berdiri sendiri secara utuh. Bentuk tersebut dapat dinilai melalui analisa unsur-unsur yang terdapat di dalamnya. Proses analisa ini berupaya untuk menelaah secara mendalam tenatng elemen-elemen yang terdapat pada pertunjukan sandur. Pengkajian pertunjukan sandur ini bertujuan untuk menganalisa unsur-unsur pembentuk kesenian tersebut pada dua daerah yang berbeda, yaitu pada tema cerita, pemain dan pola permainan pertunjukan sandur di Bojonegoro dan Tuban. Hasil dari analisis yang telah dilakukan menunjukan adanya persamaan dan perbedaan unsur-unsur pertunjukan sandur di kabupaten bojonegor dan tuban. Karya seni yang dibandingkan perlu mendapatkan perhatian khusus sebagai media yang akan menghantarkan pada proses pemahaman terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA
Afifah,Evie, 2014. Jurnal Seni ketoprak di era modern. Surakarta : Universitas Sebelas Maret
Bambang Sugiharto., Postmodernisme - Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta:Kanisius, 1996
Kleden.Ignas.1988.Sikap Ilmiah dan Kritik kebudayaan, cetakan kedua. Jakarta LP3ES
Koentjaningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta : PN Balai Pustaka
Soedjono, Soeprapto. 1994. Fenomena bentuk estetik dalam studi perbadingan seni dalam
            Jurnal SENI, Volume IV/No.04 Oktober
Soekadijo.1996.Anatomi Pariwisatai. Jakarta : Gramedia
Sudarsono.2002.Seni Pertunjukan Indonesia di era Globalisasi.Yogyakarta : UGM Press
Yudiaryani,Prof. 2004. Panggung Teater Dunia. Yogyakta : Gramedia


PUSTAKA MAYA
http://citizen6.liputan6.com/read/755021/sandur-kearifan-lokal-yang-terpendam

Narasumber
Masnoen,S.Sn. 50 Tahun, Seniman dan penggiat sandur di Kabupaten Bojonegoro

No comments:

Post a Comment