1.
Sejarah
Lahirnya kesenian bantengan ada dua versi
a.Berasal
dari Batu
Menurut catatan yang bersifat dari
mulut ke mulut dimulai dari seorang tua bernama Pak Saimin berasal dari Batu
seorang pendekar membawa kesenian ini dan bergabung dengan Pak Saman (kelompok
Siliwangi) dari Pacet dan berkembang di Pacet sampai sekarang ini.
b.Berasal
dari Pacet.
Menurut cerita dari Pak Amir anak
dari Mbah Siran yang menghidupkan kesenian Bantengan ini sampai sekarang di
Claket. Akhirnya kesenian ini hidup subur sampai sekarang di Pacet dan Claket
Kedua versi itu sulit dilacak
kebenarannya, mana yang lahir lebih dulu. Tetapi jelas sekali tempat yang terus
melestarikan kesenian Bantengan ini adalah Pacet (sering mengadakan Festival
Bantengan dan upacara tetap setiap memperingati hari kemerdekaan RI), cara
swasembada layaknya kesenian tradisional lainnya di Indonesia.
Kedua versi itu masuk akal kalau
dihubungkan dengan geografi kedua kawasan itu. masih banyak terdiri dari hutan
belantara dan gunung. Sudah tentu Bantengan itu identik dengan hutan.
Menurut cerita Pak Amir (tokoh
Bantengan) dan beberapa tokoh bantengan yang lain, seni Bantengan ini asal
mulanya dari seni persilatan yang tumbuh subur di surau-surau atau langgar
(mushollah).
Kesenian Bantengan ini awalnya untuk
beladiri bagi pemuda di surau-surau. Tetapi akhirnya menjadi kegiatan seni
untuk merayakan upacara perkawinan, sunatan atau bersih desa.Pemikiran manusia
terus berkembang, begitu juga perkembangan kesenian termasuk seni “Kitch” atau seni
bawah/ tradisional.Seni yang hidup turun temurun dari rakyat. Pencak silat itu
akhirnya tidak banyak diminati masyarakat luas karena membosankan dan tidak
menarik lagi.Para pendekar mencari alternatif lain agar kesenian itu diminati
lagi. Begitu sederhana sekali perjalanan kesenian Bantengan ini.
Suatu ketika Mbah Siran dari Claket
itu menemukan bangkai banteng yang tergeletak di tepi sungai Kromong tepi
hutan. Konon kabarnya ini terjadi karena perkelahian dua ekor banteng. Seekor
kalah dan mati menjadi bangkai. Supaya tidak mubazir oleh Mbah Siran bangkai
banteng ini diambil khusus kepalanya (tengkoraknya) dibersihkan dan dibawa
pulang.
Kalau kepala menjangan untuk hiasan
rumah, sampai sekarang masih banyak terdapat di rumah-rumah lama sebagai lambang
atau simbol keberadaan seseorang, tetapi tengkorak banteng yang berkesan gagah
dan berwibawa ini mengilhami Mbah Siran untuk melengkapi kesenian Bantengan
yang tidak menarik lagi. Awalnya tengkorak itulah yang langsung diambil untuk
dipakai sebagai “topeng” Bantengan itu melengkapi seni pencak silat dan
akhirnya karena menarik, hanya Bantengan saja yang lestari sampai sekarang.
Bantengan berdiri sendiri tanpa pencak silat lagi.
Akhirnya Bantengan ini menjadi
cabang seni rakyat atau tradisional yang amat digemari masyarakat, meskipun
sampai sekarang Pemerintah Kabupaten Mojokerto sendiri belum pernah ada usaha
untuk mengangkat seni rakyat ini menjadi sebuah kebanggaan yang akhirnya bisa
menjadi ikon untuk Kabupaten Mojokerto.
Mereka hidup sendiri dan ini perlu
ditangani secara lebih serius agar tidak tertatih-tatih berjalan sendiri tanpa
penanganan yang jelas meskipun diam-diam ia telah mengangkat citra sebuah kota
dalam bidang kesenian dan kebudayaan. Barangkali ini sebuah landasan pemikiran
tentang sebuah IKON.
2. Bantengan Masa Sekarang
Group Bantengan di Kabupaten
Mojokerto awalnya banyak sekali. Menurut catatan, dulu sampai sekarang ke
daerah Gondang, Kutorejo dan Tlagan. Bahkan menurut berita dari mulut ke mulut
ada juga yang masih hidup di daerah Pandan dan Wonosalam serta di kota kecil
Dinoyo. Tetapi yang jalan sampai sekarang hanya Kec. Pacet dan Claket saja. Tak
salah kalau banyak orang yang mengatakan bahwa Bantengan kesenian milik Pacet.
Atau saling berebut antara kota Batu dan Pacet mana yang lebih dulu melahirkan
Bantengan ini tetapi ini sulit dilacak kebenarannya. Mengapa demikian?
Barangkali memang benar kesenian ini
dari sana dan secara geografis (Batu dan Pacet) masyarakatnya amat mendukung,
hutan dan gunung. Masyarakat Pacet dan Claket memang merasa memiliki seni ini
turun temurun yang di “leluri” sebagai penghargaan kepada penemu atau pencipta
serta penerus sini Bantengan ini.
Akhirnya topeng Bantengan yang
awalnya dari tengkorak banteng asli diganti dengan topeng buatan yang dibuat
dari kayu. Ditakutkan akan terjadi perburuan liar untuk menembak banteng,
meskipun akhirnya banteng itu punah dengan sendirinya.
Seni Bantengan ini terdiri dari dua
pemain yang berperan menjadi seekor banteng. Pemain depan dengan dua laki-laki
bertugas menjadi dua kaki banteng di depan, dan kaki milik pemain yang lain
bertugas sebagai dua kaki banteng bagian belakang. Tubuh banteng dibentuk dari
selembar kain hitam yang menghubungkan kepala banteng dengan ekor banteng yang
dimainkan oleh pemain yang di belakang (lihat gambar).
Kedua pemain harus kompak bermain.
Bagaimana mereka harus bermain menjadi satu tubuh, satu jiwa, satu karakter,
satu roh, layaknya pemain double dalam bulu tangkis Ricky Subagya dan Rexy
Meinaky. Teknik mereka memaunkan Bantengan memang ada dasar-dasar tertentu.
Meskipun sebagai seni tradisi yang
bersifat seni perlawanan, rasa jiwa, spontanitas “berimprovisasi” layaknya
dalam musik jazz ikut mendominasi gerakan-gerakan mereka. Kalau diuraikan
secara teori menurut pakar Bantengan memang ada gerakan-gerakan tertentu,
misalnya : langkah dua ekor banteng , laku lombo gedong, junjungan, geser,
banteng turu (tidur), perang dengan macan (harimau) atau dengan naga, banteng
nginguk (melirik), tubrukan dengan macan. Macan pun punya gerakan begitu, juga
gerakan pendekar.
Sekarang Bantengan pun tidak sja
hanya banteng, tapi bisa juga melibatkan beinatang-binatang lain penghuni hutan
(disbet buron alas). Menurut cerita mereka (penggarap Bantengan), banteng
adalah simbol pengayom atau pelindung binatang-binatang lain di hutan. Ini
sebuah proses panjang yang tidak bisa kita ketahui di mana mereka akan
bermuara, karena pemikiran manusia itu terus berkembang (misalnya perkembangan
pementasan wayang Purwo atau wayang Kuli), beladiri lewat persilatan, kemudian
berubah menjadi Bantengan. Banteng musuh banteng, akhirnya banteng melawan
macan, melawan ular naga, melawan kera dan melawan binatang-binatang lain
(buron wana). Ini semua karena tuntutan untuk lebih menarik bagi para penonton
saja.
Di tahun 2008 kebetulan penulis
memiliki kesenian di Desa Kesimantengah Kec. Pacet yang bernama Cakra Buana
Sakti. Dengan adanya kesenian ini terbukti banyak peminat dari banyaknya
penjual VCD bantengan dengan omset yang cukup besar. Dan tiap tahun selalu
diadakan karnaval memperingati kemerdekaan RI.
Banteng mungkin melawan harimau atau macan (masih
ingat lukisan R. Saleh tentang banteng melawan harimau) simbol bangsa Indonesia
melawan kolonialisme Belanda. Atau banteng melawan ular naga (simbol dari
angkara murka) dan ini mungkin lebih menarik karena gerakan ular naga sendiri
pasti lebih artistik dan atraktif apalagi saat melawan banteng.
Banteng bukan milik PDI atau
partai-partai lain. Kita harus berpikir bersih dan bening demi seni dan bangsa
serta kemanusiaan.
Pakaiannya barangkali bisa lebih
digarap lagi supaya warna hitam (tubuh banteng) yang dominan adalah warna dasar
yang akan lebih hidup. Ketika “uborampe”nya digarap mulai dari topeng, tubuh
banteng dengan ornamen warna Mojopahit untuk menghias kepala banteng, tubuh
banteng serta pakaian pendekar atau penabuh gamelan pasti akan lebih menarik
lagi (warna gula kelapa) terasa ada garapan. Untuk musik barangkali tak perlu
mendapat pembenahan yang mendasar karena musik yang terdiri dari gendang, jidor,
gong. Kethe sebagai melodi sudah bisa mewakili bunyi serta ritme yang
diharapkan oleh penabuh dan pemain bantengannya. Kalau toh ada pembenahan bisa
ditambah lagi dengan yang lain tetapi tidak mengurangi esensi gamelan atau
musik yang berangkat dari seni silat ini, misalnya terbang atau ceng-ceng (dari
Bali) karena Mojopahit dan Bali masih ada ikatan emosionalnya dan sedikit
gamelan yang rancak dan atraktif. Biasanya bunyi gamelannya berlaras slendro
(kebanyakan musik atau gamelan Mojokerto atau Jawa timur). Akhirnya
Bantengan ini menjadi sesuatu yang khas dan kemungkinan akan diminati oleh
masyarakat lebih luas seperti seni-seni kitch yang lain: Reyog
(Ponorogo), Glipang (Probolinggo), Remo (Surabaya), Topeng (Malang dan Madura),
Jangger (Banyuwangi), Ririmau (Palembang), Ondel-ondel (Jakarta) dan Bantengan
dari Mojokerto.
Makna
Filosofis Seni Bantengan
Sebenarnya kota kecil Pacet kurang lebih 30 km dari
kota Mojokerto ke arah selatan sudah terkenal sejak zaman Belanda. Di samping
udaranya yang sejuk dan banyak dikunjungi orang kota, ada juga sebuah cabang
kesenian rakyat bahkan sudah mentradisi sampai sekarang. Kesenian itu sangat
atraktif yang disebut Bantengan. Cabang kesenian ini sering pentas/ pagelaran
menghibur masyarakat dalam kegiatan hajatan , ruwatan desa, sunatan, pernikahan
terutama untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Jenis kesenian ini amat
digemari masyarakat kabupaten Mojokerto meskipun keberadaannya tergantung pada
kesetiaan dan kecintaan group itu sendiri. Tidak jarang mereka bermain hanya
dihargai dengan nilai uang kurang memadai. Bahkan lebih sering secara gratis.
“Kesenian banteng adalah bagian hidup kami”, kata Cak Amir pemimpin Bantengan
asal Claket Pacet mojokrto. Sebagaimana kakek dan bapaknya dulu (Mbah Siran),
Amir mulai mencintai Bantengan sejak masih anak-anak. Alasannya dia mengikuti
cabang kesenian sekaligus ikut olahraga pencak silat yang banyak berkembang di
surau-surau setempat. Jumlah group Bantengan yang berada di wilayah kecamatan
Pacet sampai sekarang ini diperkirakan berjumlah 17 group yang tersebar di
desa-desa Claket, Kambengan, Cempoko Limo, Made, Barakan dan lain-lain.
A. Asal-usul
Pada awalnya Bantengan Cuma sebagai
pelengkap kesenian rakyat pencakcak silat. Akhirnya Bantengan menjadi sebuah
tontonan sendiri. Kalau memiliki Bantengan berarti pencak silat, tapi kalau
memiliki pencak silat belum tentu memiliki Bantengan. Asal-usul Bantengan ini
konon bermula dari Pacet atau Claket sebagaimana diungkapkan di atas. Namun ada
yang mengatakan dari kecamtan Jatirejo dan kecamatan Trawas. Boleh jadi karena
daeradaerah saat itu masih terdiri dari hutan liar yang banyak dihuni binatang
banteng. Sehingga binatang ini menjadi maskot yang akhirnya melahirkan kesenian
tersebut. Salah seorang tokoh Bantengan yang kini sudah almarhum adalah Mbah
Siran dari desa Claket Pacet. Sebagai mandor hutan di zaman Belanda, Mbah Siran
terkenal sebagai pendekar penvak silat yang energik, segar, menarik dan
atraktif. Semenjak Mbah Siran menemukan bangkai banteng yang tergeletak di tepi
hutan segera dibawa pulang, dibersihkan tengkoraknya saja. kalau kepala
menjangan untuk hiasan rumah (sampai sekarang masih ada rumah berhiaskan kepala
menjangan sebagai lambang atau keberadaan seseorang), tetapi tengkorak banteng
yang terkesan gagah dan berwibawa mengilhami Mbah Siran untuk melengkapi
kesenian pencak silat yang tidak menarik lagi. Awalnya tengkorak itulah yang
dipakai langsung untuk topeng Bantengan melengkapi seni pencak silat. Dari Mbah
Siran itulah Bantengan mulai diperkenalkan ke masyarakat luas sehingga tontonan
pencak silat lebih kaya variasi. Saat itu pencak silat hanya terdiri atas
“kembangan” stelan, perkelahian bebas dengan tangan kosong, clurit, kayu dan
tombak. Tabuhannya (iringan musik) seperangkat gamelan atau berupa dua buah
ketipung, jidor, theng-theng, rebana yang dipukul dengan “gothik"
(potongan kayu). Setelah diikutsertakan dalam pencak silat, tontonan itu
menjadi tontonan dengan istilah baru “Bantengan”. Kalau mengadakan tontonan di
tempat tertentu Bantengan ini masih lengkap dengan pencak silat. Tapi kalau
diundang untuk meramaikan karnaval atau pawai hanya Bantengan saja yang
dimainkan. Pemain yang memainkan Bantengan ini dikendalikan oleh dadungawuk
atau pawangnya. Gerakan mereka atraktif dan amat dinamis apalagi diiringi
tabuhan yang berkesan magis. Tidak jarang permainan ini menjadi liar dan
berkesan buas apalagi kalau pawangnya tidak mahir. Penerus Mbah Siran adalah
Cak Amir tak beda dengan kakek dan bapaknya adalah seorang pendekar dan
pemimpin sekaligus.
B. Seni
Bantengan dalam Konteks Mistik
Budaya nenek moyang kita dalam
setiap kegiatan spiritual dan ritual biasanya menggunakan wangi-wangian.
Contohnya pada saat “keleman” di sawah diberi sesaji yang diperuntukkan untuk
Dewi Sri berupa cikal bakal yang di dalamnya ada unsur wewangian (bunga)
memberikan sandingan, dipersembahkan pada waktu punya hajat, sesajen Malam
Jumat unsur wewangian tidak aka terlepas. Tradisi semacam itu di dalam agama
merupakan bagian dari ibadah, maka dicari unsur wewangian yang seakan identik
dengan mistik. Langkah ini dilakukan untuk mengecoh Belanda seakan-akan pemain
Bantengan berbuat musyrik. Dengan menggunakan sarana kemenyan (lokal, Arab)
dupa, candu atau minyak wangi. Agar murah meriah biasanya memakai kemenyan
lokal ditambah minyak wangi, baunya semerbak menyengat. Dengan unsur
kepura-puraan pula seakan mendatangkan roh halus sehingga pemain seni Bantengan
kesurupan, padahal ia bisa memainkan seni Bantengan bukan karena kesurupan.
Karena didukung bau wewangian sehingga mampu menunggaling kawula lan Gusti
akhirnya keberhasilan yang diharapkan dalam memainkan seni peran dapat
dikabulkan oleh Tuhan.
Ditulis Oleh : Ferika Ratna Ayu Syahputri / Mahasiswa Sendratasik UNESA
Sumber : http://cakrabuanasakti.blogspot.com/