Tuesday, 23 June 2015

Kesenian Bantengan Jawa Timur




1.      Sejarah
Lahirnya kesenian bantengan ada dua versi
a.Berasal dari Batu
Menurut catatan yang bersifat dari mulut ke mulut dimulai dari seorang tua bernama Pak Saimin berasal dari Batu seorang pendekar membawa kesenian ini dan bergabung dengan Pak Saman (kelompok Siliwangi) dari Pacet dan berkembang di Pacet sampai sekarang ini.
b.Berasal dari Pacet.
Menurut cerita dari Pak Amir anak dari Mbah Siran yang menghidupkan kesenian Bantengan ini sampai sekarang di Claket. Akhirnya kesenian ini hidup subur sampai sekarang di Pacet dan Claket
Kedua versi itu sulit dilacak kebenarannya, mana yang lahir lebih dulu. Tetapi jelas sekali tempat yang terus melestarikan kesenian Bantengan ini adalah Pacet (sering mengadakan Festival Bantengan dan upacara tetap setiap memperingati hari kemerdekaan RI), cara swasembada layaknya kesenian tradisional lainnya di Indonesia.
Kedua versi itu masuk akal kalau dihubungkan dengan geografi kedua kawasan itu. masih banyak terdiri dari hutan belantara dan gunung. Sudah tentu Bantengan itu identik dengan hutan.
Menurut cerita Pak Amir (tokoh Bantengan) dan beberapa tokoh bantengan yang lain, seni Bantengan ini asal mulanya dari seni persilatan yang tumbuh subur di surau-surau atau langgar (mushollah).
Kesenian Bantengan ini awalnya untuk beladiri bagi pemuda di surau-surau. Tetapi akhirnya menjadi kegiatan seni untuk merayakan upacara perkawinan, sunatan atau bersih desa.Pemikiran manusia terus berkembang, begitu juga perkembangan kesenian termasuk seni “Kitch” atau seni bawah/ tradisional.Seni yang hidup turun temurun dari rakyat. Pencak silat itu akhirnya tidak banyak diminati masyarakat luas karena membosankan dan tidak menarik lagi.Para pendekar mencari alternatif lain agar kesenian itu diminati lagi. Begitu sederhana sekali perjalanan kesenian Bantengan ini.
Suatu ketika Mbah Siran dari Claket itu menemukan bangkai banteng yang tergeletak di tepi sungai Kromong tepi hutan. Konon kabarnya ini terjadi karena perkelahian dua ekor banteng. Seekor kalah dan mati menjadi bangkai. Supaya tidak mubazir oleh Mbah Siran bangkai banteng ini diambil khusus kepalanya (tengkoraknya) dibersihkan dan dibawa pulang.
Kalau kepala menjangan untuk hiasan rumah, sampai sekarang masih banyak terdapat di rumah-rumah lama sebagai lambang atau simbol keberadaan seseorang, tetapi tengkorak banteng yang berkesan gagah dan berwibawa ini mengilhami Mbah Siran untuk melengkapi kesenian Bantengan yang tidak menarik lagi. Awalnya tengkorak itulah yang langsung diambil untuk dipakai sebagai “topeng” Bantengan itu melengkapi seni pencak silat dan akhirnya karena menarik, hanya Bantengan saja yang lestari sampai sekarang. Bantengan berdiri sendiri tanpa pencak silat lagi.
Akhirnya Bantengan ini menjadi cabang seni rakyat atau tradisional yang amat digemari masyarakat, meskipun sampai sekarang Pemerintah Kabupaten Mojokerto sendiri belum pernah ada usaha untuk mengangkat seni rakyat ini menjadi sebuah kebanggaan yang akhirnya bisa menjadi ikon untuk Kabupaten Mojokerto.
Mereka hidup sendiri dan ini perlu ditangani secara lebih serius agar tidak tertatih-tatih berjalan sendiri tanpa penanganan yang jelas meskipun diam-diam ia telah mengangkat citra sebuah kota dalam bidang kesenian dan kebudayaan. Barangkali ini sebuah landasan pemikiran tentang sebuah IKON.
2. Bantengan Masa Sekarang
Group Bantengan di Kabupaten Mojokerto awalnya banyak sekali. Menurut catatan, dulu sampai sekarang ke daerah Gondang, Kutorejo dan Tlagan. Bahkan menurut berita dari mulut ke mulut ada juga yang masih hidup di daerah Pandan dan Wonosalam serta di kota kecil Dinoyo. Tetapi yang jalan sampai sekarang hanya Kec. Pacet dan Claket saja. Tak salah kalau banyak orang yang mengatakan bahwa Bantengan kesenian milik Pacet. Atau saling berebut antara kota Batu dan Pacet mana yang lebih dulu melahirkan Bantengan ini tetapi ini sulit dilacak kebenarannya. Mengapa demikian?
Barangkali memang benar kesenian ini dari sana dan secara geografis (Batu dan Pacet) masyarakatnya amat mendukung, hutan dan gunung. Masyarakat Pacet dan Claket memang merasa memiliki seni ini turun temurun yang di “leluri” sebagai penghargaan kepada penemu atau pencipta serta penerus sini Bantengan ini.
Akhirnya topeng Bantengan yang awalnya dari tengkorak banteng asli diganti dengan topeng buatan yang dibuat dari kayu. Ditakutkan akan terjadi perburuan liar untuk menembak banteng, meskipun akhirnya banteng itu punah dengan sendirinya.
Seni Bantengan ini terdiri dari dua pemain yang berperan menjadi seekor banteng. Pemain depan dengan dua laki-laki bertugas menjadi dua kaki banteng di depan, dan kaki milik pemain yang lain bertugas sebagai dua kaki banteng bagian belakang. Tubuh banteng dibentuk dari selembar kain hitam yang menghubungkan kepala banteng dengan ekor banteng yang dimainkan oleh pemain yang di belakang (lihat gambar).



















Kedua pemain harus kompak bermain. Bagaimana mereka harus bermain menjadi satu tubuh, satu jiwa, satu karakter, satu roh, layaknya pemain double dalam bulu tangkis Ricky Subagya dan Rexy Meinaky. Teknik mereka memaunkan Bantengan memang ada dasar-dasar tertentu.
Meskipun sebagai seni tradisi yang bersifat seni perlawanan, rasa jiwa, spontanitas “berimprovisasi” layaknya dalam musik jazz ikut mendominasi gerakan-gerakan mereka. Kalau diuraikan secara teori menurut pakar Bantengan memang ada gerakan-gerakan tertentu, misalnya : langkah dua ekor banteng , laku lombo gedong, junjungan, geser, banteng turu (tidur), perang dengan macan (harimau) atau dengan naga, banteng nginguk (melirik), tubrukan dengan macan. Macan pun punya gerakan begitu, juga gerakan pendekar.
Sekarang Bantengan pun tidak sja hanya banteng, tapi bisa juga melibatkan beinatang-binatang lain penghuni hutan (disbet buron alas). Menurut cerita mereka (penggarap Bantengan), banteng adalah simbol pengayom atau pelindung binatang-binatang lain di hutan. Ini sebuah proses panjang yang tidak bisa kita ketahui di mana mereka akan bermuara, karena pemikiran manusia itu terus berkembang (misalnya perkembangan pementasan wayang Purwo atau wayang Kuli), beladiri lewat persilatan, kemudian berubah menjadi Bantengan. Banteng musuh banteng, akhirnya banteng melawan macan, melawan ular naga, melawan kera dan melawan binatang-binatang lain (buron wana). Ini semua karena tuntutan untuk lebih menarik bagi para penonton saja.
Di tahun 2008 kebetulan penulis memiliki kesenian di Desa Kesimantengah Kec. Pacet yang bernama Cakra Buana Sakti. Dengan adanya kesenian ini terbukti banyak peminat dari banyaknya penjual VCD bantengan dengan omset yang cukup besar. Dan tiap tahun selalu diadakan karnaval memperingati kemerdekaan RI.
Banteng mungkin melawan harimau atau macan (masih ingat lukisan R. Saleh tentang banteng melawan harimau) simbol bangsa Indonesia melawan kolonialisme Belanda. Atau banteng melawan ular naga (simbol dari angkara murka) dan ini mungkin lebih menarik karena gerakan ular naga sendiri pasti lebih artistik dan atraktif apalagi saat melawan banteng.
Banteng bukan milik PDI atau partai-partai lain. Kita harus berpikir bersih dan bening demi seni dan bangsa serta kemanusiaan.
Pakaiannya barangkali bisa lebih digarap lagi supaya warna hitam (tubuh banteng) yang dominan adalah warna dasar yang akan lebih hidup. Ketika “uborampe”nya digarap mulai dari topeng, tubuh banteng dengan ornamen warna Mojopahit untuk menghias kepala banteng, tubuh banteng serta pakaian pendekar atau penabuh gamelan pasti akan lebih menarik lagi (warna gula kelapa) terasa ada garapan. Untuk musik barangkali tak perlu mendapat pembenahan yang mendasar karena musik yang terdiri dari gendang, jidor, gong. Kethe sebagai melodi sudah bisa mewakili bunyi serta ritme yang diharapkan oleh penabuh dan pemain bantengannya. Kalau toh ada pembenahan bisa ditambah lagi dengan yang lain tetapi tidak mengurangi esensi gamelan atau musik yang berangkat dari seni silat ini, misalnya terbang atau ceng-ceng (dari Bali) karena Mojopahit dan Bali masih ada ikatan emosionalnya dan sedikit gamelan yang rancak dan atraktif. Biasanya bunyi gamelannya berlaras slendro (kebanyakan musik atau gamelan Mojokerto atau Jawa timur). Akhirnya Bantengan ini menjadi sesuatu yang khas dan kemungkinan akan diminati oleh masyarakat lebih luas seperti seni-seni kitch yang lain: Reyog (Ponorogo), Glipang (Probolinggo), Remo (Surabaya), Topeng (Malang dan Madura), Jangger (Banyuwangi), Ririmau (Palembang), Ondel-ondel (Jakarta) dan Bantengan dari Mojokerto.
Makna Filosofis Seni Bantengan
Sebenarnya kota kecil Pacet kurang lebih 30 km dari kota Mojokerto ke arah selatan sudah terkenal sejak zaman Belanda. Di samping udaranya yang sejuk dan banyak dikunjungi orang kota, ada juga sebuah cabang kesenian rakyat bahkan sudah mentradisi sampai sekarang. Kesenian itu sangat atraktif yang disebut Bantengan. Cabang kesenian ini sering pentas/ pagelaran menghibur masyarakat dalam kegiatan hajatan , ruwatan desa, sunatan, pernikahan terutama untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Jenis kesenian ini amat digemari masyarakat kabupaten Mojokerto meskipun keberadaannya tergantung pada kesetiaan dan kecintaan group itu sendiri. Tidak jarang mereka bermain hanya dihargai dengan nilai uang kurang memadai. Bahkan lebih sering secara gratis. “Kesenian banteng adalah bagian hidup kami”, kata Cak Amir pemimpin Bantengan asal Claket Pacet mojokrto. Sebagaimana kakek dan bapaknya dulu (Mbah Siran), Amir mulai mencintai Bantengan sejak masih anak-anak. Alasannya dia mengikuti cabang kesenian sekaligus ikut olahraga pencak silat yang banyak berkembang di surau-surau setempat. Jumlah group Bantengan yang berada di wilayah kecamatan Pacet sampai sekarang ini diperkirakan berjumlah 17 group yang tersebar di desa-desa Claket, Kambengan, Cempoko Limo, Made, Barakan dan lain-lain.
A. Asal-usul
Pada awalnya Bantengan Cuma sebagai pelengkap kesenian rakyat pencakcak silat. Akhirnya Bantengan menjadi sebuah tontonan sendiri. Kalau memiliki Bantengan berarti pencak silat, tapi kalau memiliki pencak silat belum tentu memiliki Bantengan. Asal-usul Bantengan ini konon bermula dari Pacet atau Claket sebagaimana diungkapkan di atas. Namun ada yang mengatakan dari kecamtan Jatirejo dan kecamatan Trawas. Boleh jadi karena daeradaerah saat itu masih terdiri dari hutan liar yang banyak dihuni binatang banteng. Sehingga binatang ini menjadi maskot yang akhirnya melahirkan kesenian tersebut. Salah seorang tokoh Bantengan yang kini sudah almarhum adalah Mbah Siran dari desa Claket Pacet. Sebagai mandor hutan di zaman Belanda, Mbah Siran terkenal sebagai pendekar penvak silat yang energik, segar, menarik dan atraktif. Semenjak Mbah Siran menemukan bangkai banteng yang tergeletak di tepi hutan segera dibawa pulang, dibersihkan tengkoraknya saja. kalau kepala menjangan untuk hiasan rumah (sampai sekarang masih ada rumah berhiaskan kepala menjangan sebagai lambang atau keberadaan seseorang), tetapi tengkorak banteng yang terkesan gagah dan berwibawa mengilhami Mbah Siran untuk melengkapi kesenian pencak silat yang tidak menarik lagi. Awalnya tengkorak itulah yang dipakai langsung untuk topeng Bantengan melengkapi seni pencak silat. Dari Mbah Siran itulah Bantengan mulai diperkenalkan ke masyarakat luas sehingga tontonan pencak silat lebih kaya variasi. Saat itu pencak silat hanya terdiri atas “kembangan” stelan, perkelahian bebas dengan tangan kosong, clurit, kayu dan tombak. Tabuhannya (iringan musik) seperangkat gamelan atau berupa dua buah ketipung, jidor, theng-theng, rebana yang dipukul dengan “gothik" (potongan kayu). Setelah diikutsertakan dalam pencak silat, tontonan itu menjadi tontonan dengan istilah baru “Bantengan”. Kalau mengadakan tontonan di tempat tertentu Bantengan ini masih lengkap dengan pencak silat. Tapi kalau diundang untuk meramaikan karnaval atau pawai hanya Bantengan saja yang dimainkan. Pemain yang memainkan Bantengan ini dikendalikan oleh dadungawuk atau pawangnya. Gerakan mereka atraktif dan amat dinamis apalagi diiringi tabuhan yang berkesan magis. Tidak jarang permainan ini menjadi liar dan berkesan buas apalagi kalau pawangnya tidak mahir. Penerus Mbah Siran adalah Cak Amir tak beda dengan kakek dan bapaknya adalah seorang pendekar dan pemimpin sekaligus.
B. Seni Bantengan dalam Konteks Mistik
Budaya nenek moyang kita dalam setiap kegiatan spiritual dan ritual biasanya menggunakan wangi-wangian. Contohnya pada saat “keleman” di sawah diberi sesaji yang diperuntukkan untuk Dewi Sri berupa cikal bakal yang di dalamnya ada unsur wewangian (bunga) memberikan sandingan, dipersembahkan pada waktu punya hajat, sesajen Malam Jumat unsur wewangian tidak aka terlepas. Tradisi semacam itu di dalam agama merupakan bagian dari ibadah, maka dicari unsur wewangian yang seakan identik dengan mistik. Langkah ini dilakukan untuk mengecoh Belanda seakan-akan pemain Bantengan berbuat musyrik. Dengan menggunakan sarana kemenyan (lokal, Arab) dupa, candu atau minyak wangi. Agar murah meriah biasanya memakai kemenyan lokal ditambah minyak wangi, baunya semerbak menyengat. Dengan unsur kepura-puraan pula seakan mendatangkan roh halus sehingga pemain seni Bantengan kesurupan, padahal ia bisa memainkan seni Bantengan bukan karena kesurupan. Karena didukung bau wewangian sehingga mampu menunggaling kawula lan Gusti akhirnya keberhasilan yang diharapkan dalam memainkan seni peran dapat dikabulkan oleh Tuhan.

Ditulis Oleh : Ferika Ratna Ayu Syahputri / Mahasiswa Sendratasik UNESA

Sumber : http://cakrabuanasakti.blogspot.com/

Wayang Thengul Kabupaten Bojonegoro



Wayang Thengul Merupakan kesenian wayang asli dari wilayah Bojonegoro. Saat ini tinggal 12 dalang yang masih aktif memainkan kesenian wayang thengul ini. Salah satunya dilakukan oleh dalang Mardji Deglek secara keliling.
Wayang ini berbentuk 3 dimensi dan biasanya dimainkan dengan diiringi gamelan pelog/slendro. Wayang thengul ini memang sudah jarang dipertunjukkan lagi, namun keberadaannya tetap dilestarikan di Bojonegoro, terutama di kecamatan kanor yang berjarak ± 40 Km dari Kota Bojonegoro. Jalan cerita yang sering dimainkan dari kesenian ini lebih banyak mengambil cerita menak.
Walaupun wayang thengul ini jarang dipertunjukkan lagi, tetapi keberadaannya tetap dilestarikan di Kabupaten Bojonegoro, khususnya di Kecamatan Kanor yang berasalkan dari kata KANORAGAN karena pada ssat itu warok ponorogo menunjukan kekuatab kanoragaanya di sela- sela pentas reog ponorogo dan wayang thengul, daerah ini yang berjarak ± 40 Km dari Kota Bojonegoro. Sedangkan jalan cerita dari wayang thengul ini lebih banyak mengambil warok suromenggolo dan sekitarnya.

  
Sejarah
Wayang thengul menjadi salah satu ikon Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Keberhasilan kesenian tradisi khas Bojonegoro itu bertahan hingga kini tak lepas dari peran Ki Sumardji Marto Deglek (73). Ia tak lelah memperkenalkan, melestarikan, dan mengajarkan wayang thengul.
Mbah Mardji, sapaannya, menyadari, tanpa kerja keras, wayang thengul terancam punah. Jika hal itu terjadi, generasi mendatang bangsa ini sekadar tahu wayang thengul dari cerita. Oleh karena itulah, ia mengupayakan regenerasi wayang thengul dengan mengader sejumlah dalang.
Meski usianya telah lanjut, Mbah Mardji tetap mendalang saat ada yang meminta. Ia berusaha memenuhi permintaan itu, mengingat wayang thengul adalah tontonan yang semakin langka. Kesenian tradisi itu menghadapi gempuran budaya pop, seperti organ tunggal dan dangdut.
”Akhir September lalu saya mendalang di Kabunan, Kecamatan Balen, dan Oktober sudah ada dua permintaan pentas. Gaya dan pola tampilan (wayang thengul) harus menyesuaikan perkembangan zaman, termasuk memadukannya dengan irama campursari dan dangdut,” ujar Mbah Mardji yang menampilkan wayang thengul untuk hajatan perkawinan, khitanan, murwakala (ruwatan), hingga memeriahkan peringatan proklamasi kemerdekaan RI.
Setiap kali pentas, dia dan kelompoknya, Sekar Laras Anglingdharma, mendapat imbalan Rp 5 juta. Uang itu dibagi untuk tiga pesinden, masing- masing sekitar Rp 400.000, sewa truk pengangkut wayang dan gamelan Rp 300.000-Rp 500.000.
Setelah dikurangi untuk dirinya sebesar Rp 1,2 juta, sisa uang pentas itu digunakan untuk imbalan bagi 16 panjak (pemain gamelan pengiring wayang) serta biaya perawatan wayang dan gamelan. ”Begitulah penghasilan kami. Bagaimanapun juga saya bersyukur, masih ada yang menyukai wayang thengul.”
Di luar permintaan pentas, Mbah Mardji berupaya memperkenalkan wayang thengul, terutama kepada warga Bojonegoro. Ia mengamen dari kampung ke kampung sejak 1968. Tak hanya di Bojonegoro, tetapi juga Lamongan, Tuban, bahkan Cepu, Blora, Jawa Tengah, pun didatanginya.
Saat mengamen, Mbah Mardji disertai seorang pesinden dan empat panjak. Biasanya mereka mengamen pukul 13.00-17.00 atau mulai pukul 20.00.
”Biasanya orang nanggap (memintanya mendalang) menjelang panen, tujuannya mengusir hama dan tikus,” kata Mbah Mardji yang bisa ditemui di Dusun Kalipang, Desa Tikusan, Kecamatan Kapas, atau di Growok, Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro.
Bertani
Di Growok, ia tinggal bersama istrinya, Endang Sumini. Rumahnya sederhana, berdinding kayu berukuran sekitar 5 meter x 7 meter, berlantai tanah. Seperangkat gamelan ada di ruang tamu, kendangnya digantung. Kotak wayang berisi 106 anak wayang dikunci dan diletakkan di atas meja.
Pada saat sepi tanggapan, Mbah Mardji bertani. Terkadang ia juga ikut memelihara tanaman hutan di Dander. Di sela tanaman jati berjarak 3 meter x 3 meter itu, ditanaminya menyok (ketela).
Untuk menunjang kegiatan sehari-hari, Mbah Mardji menggunakan sepeda. Dengan bersepeda dia mengurus rekomendasi saat mau mendalang sampai menengok tanaman di hutan. Ia biasa menempuh jarak sekitar 20 kilometer dari Tikusan, Kecamatan Kapas, ke Growok, Kecamatan Dander.
Ia bercerita, di dunia pedalangan namanya Ki Sumardji Marto Deglek. Marto adalah nama kakeknya yang juga dalang. Bakat mendalangnya pun warisan dari sang ayah, Niti Giatno Kencik. ”Ki Marto dulu juga dalang keliling,” ujarnya.
Mbah Mardji mulai mengenal dunia wayang sejak usia 14 tahun. Pada 1954, atau setahun kemudian, dia sudah menjadi dalang cilik. ”Sebenarnya waktu umur tujuh tahun, saya sudah membuat wayang dari tanah liat dan daun kluwih.”
Ia belajar mendalang dari sang ayah, ibaratnya magang. Ia mendampingi ayahnya sambil mengamati dan belajar mendalang. ”Kalau saya tanya tentang lakonnya, ayah saya baru mau menjawab dengan imbalan pijatan, ha-ha-ha,” cerita Mbah Mardji, satu-satunya anak dari lima bersaudara yang menjadi dalang.
Ia ingin mewariskan kepiawaian mendalang wayang thengul kepada keluarga. Namun, dua anaknya perempuan, cucunya pun perempuan. ”Jadi, saya tularkan ilmu mendalang ini kepada siapa saja yang mau belajar dan meneruskan wayang thengul,” katanya.
Guru
Oleh karena itulah, hampir semua dalang wayang thengul di Bojonegoro menganggap Mbah Mardji sebagai guru. Ia biasa melibatkan setidaknya dua dalang pada setiap pergelaran. Dalang yang menjadi kadernya pun diberi kesempatan unjuk kebolehan selama 1-2 jam.
Rumah Mbah Mardji juga kerap dikunjungi pelajar dan mahasiswa dari luar Bojonegoro, seperti Surabaya, Jember, dan Malang. Mereka umumnya datang untuk belajar wayang thengul dan wayang krucil.
”Memainkannya sama saja, bedanya, golekan (boneka) wayang thengul itu gilik (bulat tiga dimensi), sementara golekan wayang krucil kan pipih,” tutur Mbah Mardji yang juga bisa mendalang wayang purwa (kulit).
Mbah Mardji tak hanya memberi kesempatan belajar bagi kader dalang, tetapi juga mereka yang ingin menjadi panjak dan membuat wayang thengul.
Wayang thengul adalah tradisi pertunjukan wayang golek (boneka dari kayu) yang tumbuh dan berkembang di Bojonegoro. Istilah thengul berasal dari kata methentheng terus menthungul yang menyiratkan makna semangat untuk selalu tampil di permukaan ruang dan zaman.
Wayang thengul lebih dekat dengan lakon wayang menak, seperti cerita-cerita Panji atau Damarwulan. Namun, cerita tentang Wali Sanga pun menjadi lakon favorit yang kerap dipentaskan.
”Meski ada semacam ’pantangan’, seperti kalau di Bojonegoro jangan mengangkat cerita Anglingdharma, di Cepu jangan membawakan lakon Aryo Penangsang, atau di Tuban jangan sampai mengangkat lakon Ronggolawe gugur,” tuturnya tanpa memberikan alasan.


Sumber :
http://bojonegorokotaku.blogspot.com/2010/04/wayang-thengul.html
http://www.disbudpar-bjn.info/index.php/joomla-license/wayang/wayang-thengul

MASUKNYA TEKNIK PANTOMIM PERTUNJUKAN DENGAN DISIPLIN TEORI TADEOUZ KANTOOR “NYAROKA” KARYA SUTRADARA SYAMSUL ARIFIN


MASUKNYA TEKNIK PANTOMIM YANG MENGURANGI ESENSI PERTUNJUKAN DENGAN DISIPLIN TEORI TADEOUZ KANTOOR “NYAROKA” KARYA SUTRADARA SYAMSUL ARIFIN
Kritik seni oleh Andre Catur Wicaksono
12020134032



A.    Pendahuluan            
Pada awal pengambilan disiplin sutradara mengarap konsep pertunjukannya dengan teori Tadeouz Kantoor dengan teori teater boneka, pada pemahaman awal , saya sempat bertanya kepada sutradara tentang pengertian dari teater boneka dalam konsep penyutradaraannya, apakah sama dengan ondel-ondel atau teater boneka pada biasanya kita lihat?, kemungkinan yang dijawab oleh sutradara Syamsul Arifin, adalah bahwa tadeouz kantoor adalah sebuah bentuk drama non realis yang mengaplikasikan boneka dan aktor sebagai boneka, dimana sutradara bisa ikut masuk pada pertunjukan.
Namun pada sumber wikipedia.com menjelaskan bahwa Kantor lulus dari Akademi Cracow pada tahun 1939. Selama pendudukan Nazi di Polandia, ia mendirikan Teater Mandiri, dan menjabat sebagai profesor di Akademi Seni Seni di Kraków serta direktur teater eksperimental di Kraków dari 1942 ke 1944. Setelah perang, ia menjadi terkenal karena karyanya avant-garde dalam desain panggung termasuk desain untuk Saint Joan (1956) dan Ukur untuk Ukur (1956). Contoh-contoh spesifik dari perubahan tersebut ke teater standar yang tahap yang diperpanjang keluar ke penonton, dan penggunaan manekin sebagai aktor kehidupan nyata.
Dari penjelasan di atas saya menemukan sedikit pemahaman mengenai bentuk pertunjukan dari tadeouz kantor, selain dari sumber tertulis, beberapa video yang bersumber dari youtube.com juga memberikan jawaban. Yang mayoritas memberikan penjelasan bahwa pertunjukan tadeusz kantor menggunakan manekin / boneka sebagai ciri dari pertunjukannya.
Dalam proses running pertunjukan  “NYAROKA” pertunjukan lebih kearah bentuk pantomim hal ini disebabkan karena dasar pencastingan sutradara Syamsul Arifin cenderung memilih aktor yang berasal dari dunia pantomim (Kun Baehaqi Almas, Sandi Tramiaji Junior, Eka wahyuningsih, Ilham Habibullah) , dalam pantomim sorot utama adalah bagaimana tubuh mampu membentuk suatu hal yang memiliki nilai imaji ,sehinga perlu adanya tubuh yang mampu membentuk simbol visual. Sedangkan pada proses Tadeousz Kantor di perlukan aktor yang mampu faham tentang perbedaan gerakan boneka, robotik dan pantomim yang sebenarnya secara harfiah gerakan tersebut hampir mirip dan sama, karena pada dasar dari pantomim adalah gerakan stakato dan legatto.
B.     Memahami konsep  antara Antonin Artaud dan Tadeousz Kantor dalam terciptanya kesadaran penonton
Pada pertunjukan Antonin artaud berisis tentang suatu elemen-elemen fisikal dan objektif yang tampak jelas dan mampu dipahami oleh setiap penonton. Memiliki ciri khusus yakni mengganggu indera penglihatan (lampu yang menyakiti mata, sosok yang seram dan tinggi, make up yang mengyeramkan) pendengaran (musik yang mengagetkan, membosankan dan diketuk berkali-kali) dan penciuman (aroma menyengat) untuk menyadarkan penonton mengenai pertunjukan. Berbeda dengan tadeousz kantor yang mempertunjukan dengan memasukan manekin/boneka kedalam pertunjukan sebagai salah satu aktor dalam kehidupan nyata, serta gerakan-gerakan aktor yang menggunakan gerakan mimesis dengan gerak boneka.
C.    Mannequin sebagai bentuk pengungkapan  penonton dalam penciptaan intersubjectivitas Tadeousz Kantor
Pada media komunikasi sutradara mengunakan bahasa madura dan beberapa properti seperti trolly, kursi roda dan tiruan carok madura. namun komunikasi antara penonton sebelum pelemparan bola kurang tercipta, beberapa adegan yang terlau menjenuhkan seperti bermain petak umpet sebaiknya dihilangi agar penonton langsung kearah point dari apa yang ingin disampaikan oleh sutradara.
Mannequin dalam Tadeousz Kantor berfungsi sebagai bentuk ungkapan sebagai ciri dari pertunjukan tadeousz kantor dengan menghadirkan mannequin sebagai aktor dalam kehidupan nyata.
D.    Kesimpulan
            Pada hasil akhir  penyutradaran “NYAROKA”  sutradara terjebak pada bentuk-bentuk pantomim karena pada dasarnya casting dari pertunjukan Nyaroka memilih aktor-aktor yang bernotaben pada gerak pantomim. atas dasar saran dosen pengampu mata kuliah penyutradaraan 2, bapak Autar abdillah ,S.Sn.,M.Si. mengubah dan membenahi gerak aktor dan beberapa adegan yang tidak perlu sehingga bentuk pertunjukannya lebih menarik.
Teater tidak terlepas dari aspek tanda dan simbol kehidupan manusia. Kehidupan manusia yang merupakan bahan  penciptaan bagi penulis maupun pekerja seni teater lainnya akan membangun karya seni pertunjukan penuh dengan tanda dan simbol-simbol kehidupan yang disampaikan kepada penonton atau penikmat.
Teater sebagai sebuah karya seni pertunjukan akan mengangkat pesan tentang kehidupan, tentang norma, tentang kebaikan, keburukan, kejahatan, dan berbagai watak karakter manusia untuk ditampilkan di atas panggung. Simbol-simbol dari penulis naskah yang dibawakan oleh aktor melalui interpretasi sutradara berfungsi untuk mengkomunikasikan konsep, gagasan umum, pola, atau bentuk kreatif penciptanya kepada penonton atau penikmat.